BEBERAPA MASALAH FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH
Kita sepakat bahwa Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) memiliki
perbedaan pendapat dalam masalah-masalah keagamaan, dalam hal ini fiqih. Kita
juga sepakat bahwa perbedaan-perbedaan tersebut niscaya dan kita sangat
memakluminya. Di sini, penulis tidak ingin menunjukkan mana yang
terkuat dari dua pendapat tersebut. Penulis cuma ingin memaparkan dasar-dasar
yang menjadi hujjah NU maupun Muhammadiyah dalam mengistimbathkan hukum.
Adapun masalah-masalah fiqih yang akan dipaparkan di sini
barangkali masih sangat jauh untuk mengatakan lengkap, mulai dari masalah
muamalah, ibadah, siayasah. Untuk melakukan penulisan secara konprehenship
penulis merasa belum cukup mampu, selain juga membutuhkan waktu serta bahan
penelitian yang tidak sedikit. Masalah-masalah fiqih yang akan dipaparkan di
sini hanyalah masalah-malasah yang sering menjadi bahan diskusi, yang terkadang
mengarah sampai pada perdebatan yang tidak sehat. Masalah-masalah fiqih
tersebut, yaitu:
a. Niat shalat
b. Shalat Jumat
c. Qunut Subuh, Witir, dan Nazilah
d. Shalat Tarawih
e. Dzikir dengan suara keras
f. Penentuan awal ramadhan dan 1 syawal
g. Hal yang membatalkan wudhu
h. Tawasul
i. Tahlil
j. Rokok
Sebelum dipaparkan lebih rinci tentang masalah-masalah tersebut,
barangkali lebih enak jika kami berikan gambaran awal di mana titik
perbedaan-perbedaan
pendapatnya.
a. Niat Shalat: Kaum Nadhdzihiyin berpendapat bahwa niat sholat
itu sunnah dilafalkan dengan ucapan ―Ushally…sedangkan Muhammadiyah berpendapat bahwa niat sholat itu di hati,
tidak perlu diucapkan.
b. Shalat Jum‘at: Di Masjid-masjid di mana jama‘ahnya mayoritas
warga NU,
shalat Jum‘at didirikan dengan dua adzan, ditambah dengan petugas
yang menjadi Ma‘ashiral. Sementara di masjid-masjid di mana Muhammadiyah
menjadi basis warganya, maka shalat Jum‘at biasanya diadakan dengan satu kali
adzan dan tanpa Ma‘ashiral.
c. Qunut Subuh, Witir, dan Nazilah: Muhammadiyah berpendapat qunut
Subuh bukan merupakan sesuatu yang disunnahkan atau yang diwajibkan sedangkan
NU menganggapnya sebagai Sunnah Ab‘ad. NU juga berpendapat bahwa Qunut Nazilah
dan Qunut Witir adalah sunnah, tapi Muhammadiyah berpendapat bahwa Qunut Subuh
dan Witir bukan suatu amalan sunnah.
d. Shalat Tarawih: mengenai Shalat Tarawih Muhammadiyah
berpendapat dikerjakan 8 Raka‘at di tambah Witir 3 Raka‘at, sedangkan NU
melakukan Shalat Witir 20 Raka‘at ditambah 3 Raka‘at Witir.
e. Dzikir dengan Suara Keras: Seusai shalat jama‘ah di kalangan NU
baisanya dilakukan dzikir bersama dengan suara keras, sementara di kalangan
Muhammadiyah tidak demikian, dzikir ba‘da shalat dilakukan sendiri-sendiri dan
dengan suara rendah. Dalam NU juga ada tradisi menyuarakan dzikir atau
puji-pujian sebelum shalat berjama‘ah di masjid. Juga sebuah tradisi yang
dikenal dengan sebutan istighasah. Sementara di Muhamamdiyah tidak ada
kebiasaan tersebut.
f. Penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal: sudah sering terjadi
perbedaan waktu awal Ramadhan dan Idul Fitri di antara NU dan Muhammadiyah. Hal
ini dikarenakan perbedaan metodologi yang mereka gunakan untuk menentukan awal
Ramadhan dan 1 Syawal.
g. Tawassul: tawassul berasal dari kata Wasilah, perantara. Tawassul berarti
mendekatkan diri kepada Allah atau berdo‘a kepada Allah dengan mempergunakan
wasilah, atau mendekatkan diri dengan bantuan perantara. Tawasul merupakan di
antara amaliah warga NU yang terkenal. Sementara Muhammadiyah menganggap bahwa
berdoa melalui perantara atau dengan ber-tawassul adalah tidak boleh hukumnya.
h. Tahlilan: Tahlilan juga salah satu Amaliyah kaum Nadhiyin untuk
mendoakan orang yang sudah meninggal. NU berpendapat bahwa Tahlil itu justru
dianjurkan, sementara Muhammadiyah sebaliknya, tidak membolehkannya, disebabkan
ada unsur-unsur bid‘ah di dalamnya.
h. Masalah Rokok: Muhammadiyah dalam putusan Tarjihnya yang belum
lama ini dikeluarkan, dengan berani telah mengharamkan rokok. Sementara NU
dengan sekian dasar dan dalil pula menghukumi rokok dengan makruh.
A. Niat Sholat
Baik Nahdhatul Ulama maupun Muhammadiyah sepakat bahwa niat dalam shalat
merupakan bagian dari rukun. Perbedaan pendapat hanya muncul dalam
menjawab pertanyaan, apakah niat shalat perlu dilafalkan atau
tidak, dan apa hukumnya melafalkan niat dalam shalat?
1. Nahdhatul Ulama
Melafalkan niat shalat ketika menjelang takbiratul ihram sudah
menjadi kebiasaan warga NU. Lafadl niat shalat diawali dengan kalimah “ushalli” yang
artinya ―aku berniat melakukan shalat. Kalau yang akan dikerjakan
shalat
shubuh maka lafadh niatnya yang lengkap menjadi ―Ushalli fardla subhi rak‟ataini mustaqbilal
kiblati ada‟an lillahi ta‟ala (Saya berniat melakukan shalat
fardlu subuh dzuhur
dua empat raka‘at dengan menghadap kiblat dan tepat pada waktunya semata-mata karena Allah SWT).
Hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ikhram,
demikian Cholil Nafis, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa‘il PBNU
dalam situs
resmi NU, menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi‘iy
(Syafi‘iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah
sunnah. Hal ini dikarena melafalkan niat sebelum takbir dapat
membantu untuk
mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu‘ dalam
melaksanakan shalatnya.
Melafadhkan niat shalat merupakan wujud dari kehati-hatian. Sebab,
jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan
niatnya, seperti melafalkan niat shalat Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur,
maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan
oleh mulut itu (shalat Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan
hati.
Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya
itu masih benar.
Berkaitan dengan pendapat yang tidak menganjurkan pelafadzan niat
shalat, Cholil Nafis tak lupa melengkapi argumennya. Ia menambahkan, bahwa
menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah
(Hanafiyah) melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari‘atkan
kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya
sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat
shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang
terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah.
Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat
sebelum takbir
adalah bid‘ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang
yang
terkena penyakit was-was. Dasar atau argumen NU selanjutnya adalah
hadist Rasul tentang pelafalan niat dalam suatu ibadah wajib yang pernah
dikerjakan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan,
“Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”." (HR. Muslim).
Memang, ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu bukan untuk
ibadah shalat, bukan pula wudhu, dan puasa, melaikan ibadah haji. Namun
demikian, menurut Cholil Nafis, apa yang dikerjakan Nabi tersebut tidak berarti
selain haji. Apa yang dilakukan Nabi bisa diqiyaskan atau dianalogikan, yakni
disunnahkannya pelafalan niat shalat.
Tempatnya niat ada di hati, NU tidak menampik hal ini. Namun
demikian, masih menurut Cholil Nafis, untuk sahnya niat dalam ibadah itu
disyaratkan empat hal yaitu,
1. Islam
2. Berakal sehat (tamyiz)
3. Mengetahui sesuatu yang diniatkan
4. Tidak ada sesuatu yang merusak niat.
Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi
tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan
dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti
membedakan orang yang beri‘tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di
masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu
ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan
shalat Ashar.
Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua
kategori tersebut tetapi pernah dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya,
maka
hukum melafalkan niat adalah sunnah. Fatwa sunnah melafalkan niat
dari NU juga dikuatkan dengan pendapat Imam Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj:
Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut
dapat membantu (kekhusyu‟-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dan karena menghindar
dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat. Selain itu, dasar-dasar tersebut
di atas, melafalkan niat (Talaffudz Binniyah)
juga berdasar kepada al-Qur‘an surat
ayat (disunnahkannya melafalkan
niat Ayat–ayat Al-Qur‘an berikut:
Yang Artinya:
Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan melainkan
disisinya ada
malaikat pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan. (Qaaf: 18)
Artinya:
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah
kemuliaan itu
semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan
amal yang saleh dinaikkan-Nya. dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi
mereka azab yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur
.(Q.S Fathir: 10)
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa perkataan yang baik itu
ialah kalimat tauhid yaitu Laa ilaa ha illallaah; dan ada pula yang mengatakan
zikir kepada Allah dan ada pula yang mengatakan semua perkataan yang baik yang
diucapkan karena Allah. Perkataan baik dan amal yang baik itu dinaikkan untuk
diterima dan diberi-Nya pahala. Melafalkan niat dengan lisan
adalah suatu kebaikan yang akan dicatat amalnya oleh Malaikan pencacat amal
kebaikan. Segala perkataan hamba Allah yang baik akan diterima oleh Allah
(Allah akan menerima dan meridhoi amalan tersebut) termasuk ucapan lafadz niat
melakukan amal shalih (niat shalat, haji, wudhu, puasa dsb). Hadits-Hadist lain
yang menjadi dasar talaffudz binniyah adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin ra. Beliau berkata: “Pada suatu
hari Rasulullah Saw. Berkata kepadaku : “Wahai aisyah, apakah ada
sesuatu yang dimakan? Aisyah Rha. menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada pada
kami sesuatupun”. Mendengar itu Rasulullah Saw. bersabda : “Kalau begitu hari
ini aku puasa”. (HR.
Muslim).
Hadits ini mununjukan bahwa Rasulullah Saw. mengucapkan niat atau
talafudz bin niyyah ketika beliau hendak berpuasa sunnat.
Hadits Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar
Rasulullah bersabda ketika tengah berada di Wadi Aqiq: ”Shalatlah engkau di
lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah “sengaja aku umrah di dalam haji”. (Hadis Sahih riwayat Imam-Bukhari)
Diriwayatkan dari Jabir, beliau berkata: “Aku pernah shalat Idul
Adha bersama
Rasulullah Saw., maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah
beliau seekor
kambing lalu beliau menyembelihnya sambil berkata: “Dengan nama
Allah, Allah
Maha Besar, Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari orang-orang
yang tidak sempat berkurban di antara ummatku.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan
Turmudzi)
Dari hadis-hadis di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah mengucapkan
niat dengan lisan atau talafudz binniyah ketika beliau akan haji, puasa, maupun menyembelih qurban,
sehingga hal ini sangat bisa diqiyaskan dalam perkara shalat.
Sekali lagi, perlu ditegaskan bahwa, fungsi melafalkan niat,
menurut Fuqoha kaum NU adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam
melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu‘an. Karena
melafalkan niat sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat
pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
2. Muhammadiyah
Dalam kitab himpunan Putusan Tajrih Muhammadiyah, pada pembahasan
masalah shalat, di awali dengan beberapa dalil, baik al-Qur‘an dan hadis.
Berkaitan dengan tema yang sedang kita bahas, ada satu dalil hadist yang
diletakkan dalam pendahuluan HPT Muhammadiah bab Shalat, yakni Hadits dari
Malik bin Huwairits ra. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, yang artinya:
"Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melakukan
shalat".
(HR. al-Bukhari).
Hadist tersebut menjadi salah satu dasar bagi Muhammadiyah bahwa
niat dalam shalat tidak perlu dilafalkan. Karena memang tidak ada dalil yang
memerintahkan atau tidak ada peristiwa di mana para shahabat Nabi melihhat
Nabi Muhammad melafalkan niat dalam shalat. Sejauh ini, Himpunan
Putusan Tarjih Muhammadiyah (HPT) tidak menyebutkan secara rinci berkaitan
dengan alasan-alasan Muhammadiyah tidak melafalkan niat shalat. Dalam HPT hanya
disebutkan bahwa :
“bila kamu hendak menjalankan shalat, maka bacalah: "Allahu Akbar" ,
dengan ikhlas niatmu karena Allah seraya mengangkat kedua belah tanganmu sejurus bahumu,
mensejajarkan ibu jarimu pada daun telingamu.”
Dalam HPT juga disebutkan dalil hadis shahih yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi, yang artinya:
"Kunci (pembuka) shalat itu wudlu, permulaannya takbir dan
penghabisannya salam".
Juga hadis shahih dari Ibnu Majah yang dishahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Hibban dari hadis Abi Humaid Sa'idi bahwa Rasulullah, jika
shalat ia menghadap ke Qiblat dan mengangkat kedua belah tangannya dengan
membaca "Allahu Akbar".
Niat sholat itu sesuatu yang wajib hukumnya dalam shalat menurut
Muhammadiyah. Hal ini didasaarkan firman Allah surah al-Bayyinah 6:
Yang Artinya:
"Dan tidaklah mereka diperintah melainkan supaya menyembah
kepada Allah dengan ikhlas kepadaNya daam menjalankan Agama".
Juga hadis rasulullah:
“Sesungguhnya (sahnya) amal itu tergantung kepada niat." (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Namun Muhammadiyah tidak memberikan pedoman kepada warganya untuk
melafalkan niat. Muhammadiyah menyatakan bahwa niat itu bukan amalan anggota
tubuh. Rasulullah memisahkan antara amalan-amalan anggota tubuh dengan niat,
bahwa niat itu yang menggerakkan tubuh untuk beramal.
Oleh karena itu melafalkan niat, bagi Muhammadiyah bukanlah
sesuatu yang disunnahkan. Dalil dari fatwa ini jelas, bahwa melafalkan niat
tidak pernah dilakukan Rasulullah saw.
Hal ini pernah ditegaskan oleh Syakir Jamaluddin, Ketua Lembaga
Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY) saat memberikan materi ―Ibadah Praktis Perspektif Muhammadiyah pada acara Baitul Arqam Karyawan Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Syakir Jamaluddin mengatakan, bid‘ah (penyimpangan) yang terjadi di
masyarakat mengenai tata cara shalat Nabi Muhammad SAW, yaitu mengenai niat.
Niat itu, kata Syakir, di dalam hati secara ikhlas karena Allah semata. Niat
adalah perbuatan hati, bukan perbuatan mulut sehingga tidak perlu diucapkan. Ia
melanjutkan, tidak ada satu pun hadis, baik yang dhaif (lemah), dan sahih
menjelaskan tentang adanya tuntunan melafalkan niat ketika hendak memulai
shalat.
Selain itu, argumen lain dari tidak disunnahkannya melafalkan niat
shalat adalah, bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hati setiap orang,
maka niat tidak perlu diucapkan. Dia hanyalah suatu niat yang tempatnya di
hati. Dan
tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ibadah haji dan yang
lainnya.
Berkaitan dengan hadis Rasulullah yang oleh ulama NU dijadikan
dalil bahwa niat juga pernah diucapkan Rasulullah sebelum haji, maka pihak yang
menolak disunnahkannya melafalkan niat sebelum shalat menganggap bahwa apa yang
dicapkan Nabi tersebut adalah talbiyah sesuai dengan yang dia niatkan. Dan
talbiyah bukanlah merupakan pengkabaran niat karena talbiyah mengandung jawaban
terhadap panggilan Allah. Maka talbiyah itu sendiri merupakan dzikir dan bukan
pengkabaran tentang apa yang diniatkan di dalam hati.
B. Shalat Jum’at
Shalat jum‘at adalah ibadah fardhu ‗ain bagi laki-laki yang
mukallaf, tak ada ikhtilaf di titik ini. Perbedaan di kalangan ulama fiqih baru
muncul pada tata cara pelaksanaannya. Kita tidak tentu tidak terkejut ketika
shalat Jumat di kampung orang lain, yang mana cara pelaksanaannya berbeda
dengan shalat jumat di kampung kita. Dan kita tak perlulah terburu-buru
menganggap bahwa
shalat Jumat di kampung ―B salah,
penuh bid‘ah, atau telah keluar dari syariat, hanya karena berbeda
pelaksanaannya dengan yang biasa kita lakukan.
Muhammadiyah dan NU, sebagai organisasi Islam yang memiliki massa terbesar di Indonesia, memiki pendapat yang
berbeda dalam hal tata cara pelaksanaan shalat Jumat. Perbedaan tersebut,
antara lain terletak pada pertanyaan, apakah adzan Jumat dilakukan satu kali
atau dua kali? Apakah dalam shalat jumat perlu adanya shalat qobliyah? Apakah
petugas khotib perlu menggunakan tombak sewaktu khotbah?
Ringkasan pada bab ini adalah, sebagai berikut:
a. Dalam masalah adzan Jumat, Muhammadiyah berpendapat bahwa adzan
Jumat hanya satu kali yakni setelah khatib naik ke mimbar dan menguapkan salam.
Sementara NU berpendapat bahwa adzan Jum‘at dilakukan dua kali, sebelum khatib
naik mimbar, dan setelah khatib naik mimbar dan mengucapkan salam.
b. NU berpendapat bahwa shalat qabliyah Jumat adalah sunnah,
sebagaimana shalat qabliyah dhuhur, sementara Muhammadiyah tidak menganggapnya
bagian dari sunnah.
c. Petugas Khotib di masjid-masjid NU biasanya memegang tombak
ketika khotbah, bagi Muhammadiyah itu tidak perlu.
Memang, kita tidak bisa seketika menyimpulkan; misal jika di
sebuah masjid adzan shalat Jumat dilakukan dua kali berarti masjid tersebut di
kuasai warga NU, dan sebaliknya, jika adzan Jumat cuma satu kali berarti
―dikuasai warga Muhamamdiyah. NU dan Muhammadiyah hanya mengeluarkan fatwa,
dengan harapan bisa dijadikan rujukan bagi kaum Muslimin, khususnya bagi
kelompoknya. Fatwa-fatwa tersebut akan kami jabarkan satu persatu, bukan dengan
maksud untuk mengotak-kotakkan. Melainkan agar kita semakin dapat
memahami perbedaan pendapat seputar pelaksanaan shalat Jumat.
1. Muhammadiyah
a. Adzan Jumat
Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah tidak diterangkan
secara rinci mengenai cara penyelanggaraan shalat Jumat. Demikian pula mengenai
pendapat di sekitar shalat Jumat, seperti mengenai berapa kali adzan, cara
penyampain khutbah, maupun bab shalat qabliyah Jumat.
Dalam memutuskan kapan adzan dimuai dalam shalat jumat, tarjih
menyatakan: ―Apabila Imam telah duduk di atas mimbar, maka adzanlah salah
seorang dari kamu dan apabila Imam telah turun dari mimbar maka berqamatlah.
Dasar dari tuntunan di atas, sebagaimana terdapat dalam HPT adalah
hadis dari Syaib bin Yazid yang artinya:
“Karena hadis riwayat Bukhari, Nasai dan Abu dawud dari Saib bin
Yazid r.a,
yang berkata: “Adapun seruan pada hari Jum‟ah itu pertama (adzan)
tatkala Imam duduk di atas mimbar, pada masa Rasulullah SAW, pada masa Khalifah
Abu Bakar r.a, pada masa Khalifah Umar r.a, setelah tiba masa Khalifah Utsman
r.a, dan orang semakin banyak maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura
(nama tempat di pasar) yang mana pada masa Nabi Saw hanya ada seorang Muadzain.”
Tarjih Muhammadiyah mengaku mengikuti apa yang telah berlaku pada
masa Rasululah saw. Jadi, apa yang dilakukan oleh Khalifah Utsman tidak
dilanjutkan atau ditiru oleh Muhammadiyah.
Perlu kami singgung lagi, bahwa HPT Muhammadiyah tidak memberi
keterangan yang lebih jauh berkait pengambilan hukum ini. Namun, penulis perlu
menambahkan alasan-alasan Ulama lain yang sependapat dengan Muhammadiyah
berkaitan masalah adzan Jumat.
Bahwa Khalifah Utsman menambahkan adzan pertama karena suatu
alasan yang masuk akal, yakni pada masa itu kaum Muslimin semakin banyak
jumplahnya dan tempat-tempat mereka berjauhan dari Masjid Nabawi. Beliau hanya
ingin menyampaikan kepada mereka (kaum Muslimin) tentang masuknya
waktu shalat, dengan mengqiyaskan shalat-shalat lainnya. Oleh
karena itu, beliau memasukkan shalat Jum‘at ke dalamnya dan menetapkan
kekhususan Jum‘at dengan adzan di depan khatib.
Syaikh al-Albani dalam al-Ajwibah an-Nafi‟ah berpendapat
bahwa kondisi sekarang dianggap sudah tidak memerlukan adzan tambahan sebelum khatib
naik mimbar. Hampir tidak ada seorang pun yang berjalan beberapa langkah,
melainkan pasti mendengar adzan Jum‘at dari menara-menara masjid. Apalagi
alat-alat pengeras suara telah dipasang di menara-menara tersebut, jam-jam
penunjuk waktu dan selainnya telah tersebar di mana-mana.
Ada pula yang berpendapat bahwa,
melakukan adzan Jumat sama seperti yang dilakukan oleh Utsman r.a. sekarang ini termasuk di dalam tashiilul haashil
(berusaha mewujudkan sesuatu yang sudah ada) dan ini tidak boleh,
terutama masalah ini mengandung unsur tambahan atas sunnah yang telah dilakukan
oleh Rasulullah Saw. tanpa alasan yang membenarkannya.
Pendapat tersebut mencoba dikuatkan dengan mencermati lagi
sejarah, di Mana Ali bin Abi Thalib r.a ketika
berada di Kuffah merasa cukup dengan sunnah Rasulullah saw tidak melakukan
seperti yang dilakukan oleh Utsman r.a.
hal ini seperti yang diungkap di dalam Tafsir al-Qurthubi.
b. Shalat Qabliyah Jumat
Dalam HPT Muhammadiyah tidak terdapat pembahasan khusus mengenai
Shalat qabliyah Jumat. Namun demikian, pendapat Tarjih berkaitan dengan adzan
Jumat secara langsung membuat konsekwensi terahadap masalah shalat qabliyah
Jumat.
Shalat qabliyah adalah shalat yang mengiringi shalat wajib yang
dilakukan setelah adzan. Maka, ketika adzan Jumat cuma sekali dan itu dilakukan
ketika khatib berada di atas mimbar, maka shalat qabliyah pun jadi tidak ada.
Ini senada dengan putusan Tarjih Muhammadiyah yang menyatakan bahwa: khusus
shalat tathawwu‟ pada hari Jumat jumrah
raka‘atnya tidak terbatas, sehingga dapat dikerjakan begitu berada di dalam
masjid sesudah tahiyatul Masjid hingga datang Imam shalat, (yang mana Imam
tersebut akan bersalam dan duduk, kemudian adzan dilakukan).
Sementara untuk shalat sunnah sesudah shalat Jumat dapat dilakukan
dengan dua atau empat Raka‘at. Yang dimaksud Shalat tathawwu‟ di sini adalah shalat sunnah
tahiyatal masjid dan shalat sunnah selain qabliyah Jumat. Karena shalat sunnah
qabliyah dilangsungkan setelah adzan.
Pendapat Tarjih sejalan dengan pendapat Imam Malik, dan sebagian
penganut Hanabilah dalam riwayat yang masyhur. Adapun Dalil yang menerangkan
tidak dianjurkannya shalat sunnat qabliyah Jum'at adalah sebagai berikut:
Hadist dari Saib Bin Yazid: "Pada awalnya, adzan Jum'at dilakukan
pada saat imam berada di atas mimbar yaitu pada masa Nabi SAW, Abu bakar dan
Umar, tetapi setelah zaman Ustman dan manusia semakin banyak maka Sahabat
Ustman menambah adzan menjadi tiga kali (memasukkan iqamat), menurut riwayat Imam
Bukhori menambah adzan menjadi dua kali (tanpa memasukkan iqamat). (H.R. riwayat Jama'ah kecuali Imam
Muslim).
Dengan hadist di atas Ibnu al-Qoyyim berpendapat, "Ketika
Nabi keluar dari rumahnya langsung naik mimbar kemudian Bilal mengumandangkan
adzan. Setelah adzan selesai Nabi SAW langsung berkhutbah tanpa adanya pemisah
antara adzan dan khutbah, lantas kapan Nabi SAW dan jama‘ah itu melaksanakan
shalat sunnat qabliyah Jum'at?
Demikianlah hujjah dari Muhammadiyah tentang tidak adanya shalat
qabliyah Jumat.
2. Nahdhatul Ulama
a. Adzan Jumat
Sebagaimana sudah disinggung di muka, bahwa NU berpendapat sunnah
hukumnya adzan Jumat dilakukan dua kali. Pendapat ini tentu tidak asal-asalan
muncul, melainkan ada hujjah dan dalil yang mendasarinya. NU sepakat bahwa di
zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khathab mengumandangkan adzan
untuk shalat Jum‘at hanya dilakukan sekali saja. Penambahan adzan Jumat
kemudian dilakukan di zaman Khalifah Utsman bin Affan r.a. sebelum khatib naik
ke atas mimbar, sehingga adzan Jum‘at menjadi dua kali.
KH. Cholil Nafis, salah seorang pembesar NU yang mengurusi Lembaga
Bahtsul Masail, menyadari bahwa apa yang dilalukan Khalifah Utsman r.a.
dikarenakan melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat tinggalnya berjauhan.
Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk memberi tahu bahwa shalat Jum'at
hendak dilaksanakan. Apa yang dilakukan Khalifah tersebut, menurut NU masih
dianggap relevan sampai sekarang. Untuk menguatkan pendapatnya, Cholil Nafis
mengutip kitab Shahih al- Bukhari, di sana
dijelaskan:
Dari Sa'ib ia berkata, "Saya mendengar dari Sa'ib bin Yazid,
beliau berkata,
“Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa
Rasulullah SAW, Abu Bakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas
mimbar. Namun ketika masa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin sudah banyak,
maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut
dikumandangkan di atas Zaura' (nama pasar). Maka tetaplah hal tersebut (sampai
sekarang)".
(Shahih al-Bukhari)
Pendapat NU tentang sunnahnya dua adzan pada shalat Jumat juga
sejalan dengan pendapat Syaikh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fath al- Mu'in, yang mengatakan:
"Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat Shubuh, yakni
sebelum fajar dan setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang
utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah dua adzan untuk shalat Jum'at. Salah
satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang lain sebelumnya".
(Fath al- Mu'in: 15)
NU menganggap bahwa ijtihad Utsman sebagai ijma‟ sukuti, yaitu kesepakatan para sahabat
Nabi SAW terhadap hukum suatu kasus dengan cara tidak mengingkarinya. Ijma‟ sukuti dianggap memiliki landasan yang
kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma' para sahabat. Hal ini
sebagaimana termaktub dalam kitab al-Mawahib al Laduniyah sebagaimana juga dikutip oleh
Cholil Nafis sebagai berikut:
"Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman ra.
Itu merupakan ijma' sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat
yang lain tidak menentang kebijakan tersebut” (al-Mawahib al Laduniyah, juz
II,: 249).
Dalam menjawab apakah pengambilan hukum tersebut tidak mengubah
sunah Rasul? Dengan tegas NY menyatakan tidak! Kenapa tidak? Karena mengikuti
Utsman bin Affan r.a. itu juga berarti ikut Rasulullah SAW. Sebab Rasulullah saw telah
bersabda yang artinya:
"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan
sunnah al- Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal)
Pendapat lain yang sejalan dengan fiqh NU perihal adzan dua kali
sebelum shalat Jumat beralasan bahwa tambahan satu kali adzan meskipun tidak
diperintahkan, tetapi juga tidak dilarang. Karena perbuatan itu ada yang dilarang, ada yang diperintahkan dan ada pula yang tidak dilarang dan juga
tidak
diperintahkan. Adzan Jumat dua kali memang perbuatan yang tidak diperintahkan,
tetapi juga tidak dilarang, dan mengandung unsur maslahah, selain juga dianggap ijma‟ sukuti.
b. Shalat Qabliyah Jumat
Dalam masalah shalat qabliyah Jumat NU pendapat bahwa shalat
qabliyah Jumat adalah sunnah hukumnya, dikarenakan dalilnya lebih rajih (unggul). Pendapat ini sejalan
dengan Imam Abu Hanifah, Syafi'iyyah (menurut pendapat yang dalilnya lebih
tegas) dan pendapat Hambaliah dalam riwayat yang tidak masyhur, demikian Cholil
Nafis.
Adapun dalil yang dipakai untuk menyatakan dianjurkannya sholat
sunnah qabliyah Jum'at adalah hadist Rasulullah SAW yang artinya:
"Semua shalat fardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnat
qabliyah dua raka‟at".
(HR.Ibnu Hibban yang telah dianggap shohih dari hadist Abdullah
Bin Zubair).
Dari hadist di atas maka dapat dimengerti bahwa semua shalat
fardhu, termasuk shalat Jumat terdapat shalat sunnah qabliyah. Selain hadist di
atas juga ada hadist Rasulullah saw lainnya, yang artinya:
Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. berkata: Sulayk al-Ghathafani
datang (ke masjid), sedangkan Rasulullah saw sedang berkhuthbah. Lalu Nabi SAW
bertanya: Apakah kamu sudah shalat sebelum datang ke sini? Sulayk menjawab:
Belum. Nabi SAW bersabda: Shalatlah dua raka‟at dan ringankan saja
(jangan membaca surat
panjang-panjang), (Sunan Ibn Majah).
Berdasar dalil-dalil tersebut, Imam an-Nawawi menegaskan dalam
kitab
al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzdzab: ―Disunnahkan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum‟at. Paling sedikit dua
raka‟at sebelum dan sesudah
shalat jum‟at. Namun yang paling
sempurna adalah shalat sunnah empat raka‟at sebelum dan sesudah shalat Jum‟at. (Al Majmu‟,
Juz 4: 9)
c. Memegang Tongkat pada Saat Khutbah
Tarjih Muhammadiyah tidak membahas permasalahan apakah ketika
khatbah, khatib membawa tombak atau benda-benda lain di atas mimbar atau tidak?
Dalam HPT hanya dinyatakan: ―Sebelum shalat hendaklah Imam berkhutbah dua kali
dengan berdiri dan duduk di atantara kedua khutbah itu. Di dalam khutbah Imam
supaya membaca ayat al-Qur‘an dan memberikan peringatan-peringatan kepada orang
banyak‖. Tuntunan demikian didasarkan
pada pandangan hadist Sumarah r.a. Ibnu Umar, dari Hadist Abu Hurairah, yang
artinya:
“Karena hadist riyawat jama‟ah kecuali Bukhari dan Tirmidzi dari Jabir bin Samurah r.a. yang
berkata: “Adalah Rasulullah berkhutbah sambil berdiri dan duduk di antara dua
khutbah, dan membaca beberapa ayat al-Qur‟an dan memberi peringatan kepada orang banyak.”
Sementara itu NU, melalui lembaga Bahtsul Masail sependapat dengan
jumhur ulama fiqh yang mengatakan bahwa sunnah hukumnya khatib memegang tongkat
dengan tangan kirinya pada saat membaca khutbah.
Dalam masalah ini NU bermadzhab Syafi‘iyyah, di mana di dalam
kitab al-Umm
diterangkan:
Imam Syafi'i berkata: “Telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika Rasulullah
saw berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau
berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu
dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi' mengabarkan dari Imam Syafi'i dari Ibrahim, dari Laits
dari 'Atha', bahwa Rasulullah SAW jika berkhutbah memegang tongkat pendeknya
untuk dijadikan pegangan". (al-Umm)
Hadist Rasulullah saw, yang artinya:
Dari Syu'aib bin Zuraidj at-Tha'ifi ia berkata ''Kami menghadiri
shalat Jum'at pada
suatu tempat bersama Rasulullah SAW. Maka Beliau berdiri
berpegangan pada
sebuah tongkat atau busur". (Sunan Abi Dawud).
Al Gazali dalam Ihya Ulumuddin, juga telah menulis:
Apabila muadzin telah selesai (adzan), maka khatib berdiri
menghadap jama'ah dengan wajahnya. Tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri.
Dan kedua tangannya memegang pedang yang ditegakkan atau tongkat pendek serta
(tangan yang satunya memegang) mimbar. Supaya dia tidak mempermainkan kedua
tangannya. (Kalau tidak begitu) atau dia menyatukan tangan yang satu dengan
yang lain". (Ihya'
'Ulum al-Din)
Memegang tongkat selama khotbah selain merupakan sunnah (pernah
dilakukan Rasul) juga dianjurkannya sebagai cara untuk mengikat hati (agar
lebih konsentrasi) dan agar tidak mempermainkan tangannya. Demikian dalam kitab
Subulus
Salam, juz II,
sebagaimana dikutip Cholil Nafis.
C. Qunut
Terdapat tiga poin yang akan kita bicarakan dalam masalah Qunut,
yakni Qunut Subuh, Qunut Nazilah, dan Qunut Witir. Tiga macam qunut ini adalah
masalah khilafiyah yang tidak asing lagi di kalangan umat Islam, perbedaan itu
juga terjadi di antara NU dan Muhammadiyah.
Dalam masalah qunut subuh, NU bermadzhab kepada Imam Malik dan
Syafi‘i yang mana qunut subuh dimasukkan dalam perkara sunnah ab‘adh, sunnah
yang apabila lupa tidak dikerjakan maka disunnahkan untuk melakukan sujud
sahwi. Sementara Muhammadiyah, tidak membenarkan adanya qunut (berdoa
―allahummah dinii.. dst) di shalat subuh.
Untuk masalah qunut nazilah, NU menghukuminya sunnah hai‘ah (kalau
lupa tertingal tidak disunatkan bersujud sahwi), karena Nabi juga melakukannya.
Sementara Muhammadiyah, memutuskan tarjihnya bahwa qunut nazilah tidak lagi
boleh diamalkan, sebab sudah terjadi mansukh, tetapi qunut nazilah juga boleh dilakukan
selama tidak menggunakan kutukan dan permpohonan pembalasan dendam terhadap
perorangan.
Kemudian, dalam masalah qunut witir, NU memberikan beberapa
pilihan dari pendapat ulama salaf. Sebagaimana ditulis KH Cholil Nafis, bahwa
menurut pengikut Imam Abu Hanifah (hanafiyah) qunut witir dilakukan diraka‘at
yang ketiga sebelum ruku‘ pada setiap shalat sunnah. Menurut pengikut Imam
Ahmad bin Hambal (Hanbaliah) qunut witir dilakukan setelah ruku‘. Menurut
pengikut Imam Syafi‘i (Syafi‘iyyah) qunut witir dilakukan pada akhir shalat
witir setelah ruku‘ pada separuh kedua bulan Ramadlan. Akan tetapi menurut
pengikut Imam Malik qunut witir tidak disunnahkan. Namun demikian, dalam
tataran keseharian warga NU lebih condong memakai pendapat Imam
Syafi'I dalam masalah qunut witir. Sementara Muhammadiyah sendiri, sebagaimana
ditulis Abdul Munir Mulkan (2005) merujuk pada HPT Muhammadiyah bahwa untuk
qunut witir Muhammadiyah masih menangguhkan pengambilan keputusannya.
Untuk itu pada bab masalah qunut, hanya akan kami jabarkan
pendapat qunut nazilah dan qunut subuh dari ulama NU dan Muhammadiyah,
sedangkan untuk qunut witir hanya akan kami jabarkan pendapat dari kalangan NU
saja.
1. Nahdhatul Ulama
a. Qunut Nazilah
Dalam sebuah tanya jawab Gus Mus tentang Qunut Nazilah yang pernah
dimuat www.pesantrenvirtual.com, KH. Musthafa Bisri atau yang
akrab di sapa Gus Mus menulis bahwa mengartikan qunut dengan tunduk;
merendahkan diri kepada Allah; mengheningkan cipta; berdiri shalat. Kemudian,
dalam perkembangannya, qunut digunakan untuk doa tertentu di dalam shalat.
Nazilah sendiri biasa diartikan dengan ―musibah. Nabi Muhammad SAW, demikian
tulis Gus Mus, pernah berqunut pada setiap lima waktu shalat, yaitu pada saat ada nazilah (musibah). Saat kaum muslimin
mendapat musibah atau malapetaka, misalnya ada golongan muslimin yang teraniaya
atau tertindas. Pernah pula Nabi melakukan qunut muthlaq, yakni qunut yang dilakukan
tanpa
sebab yang khusus.
Jadi, qunut nazilah adalah qunut yang dilakukan saat terjadi
malapetaka yang menimpa kaum muslimin. Seperti dulu ketika Rasulullah SAW atas
permintaan Ri'l Dzukwan dan 'Ushiyyah dari kabilah Sulaim, mengirim 70 orang
Qura‘ (semacam guru ngaji) untuk mengajarkan soal agama kepada kaum mereka. Dan
ternyata setelah sampai di suatu tempat yang bernama Bi'r al- Ma'uunah
orang-orang itu berkhianat dan membunuh ketujuh puluh orang Quraa tersebut.
Mendengar itu Rasulullah SAW berdoa dalam shalat untuk kaum mustadh'afiin,
orang-orang yang tertindas, di Mekkah.
Qunut Nazilah adalah sunnah hai‘ah hukumnya (kalau lupa tertingal
tidak disunatkan bersujud sahwi). Hal ini sebagaimana menurut Imam Syafi'i,
qunut nazilah disunnahkan pada setiap shalat lima waktu, setelah ruku' yang terakhir, baik
oleh imam atau yang shalat sendirian (munfarid): bagi yang makmum tinggal mengamini doa imam.
Dasar disunnahkannya qunut nazilah oleh kalangan NU antara lain
hadist Nabi yang artinya:
“Rasulullah SAW kalau hendak mendoakan untuk kebaikan seseorang
atau doa atas kejahatan seseorang, maka beliau doa qunut setelah ruku‟ (HR. Bukhori dan Ahmad).
Sementara bacaan doa untuk qunut nazilah sama dengan qunut subuh.
Hanya saja, biasanya dalam qunut nazilah ditambahkan sesuai
kepentingan yang berkaitan dengan musibah yang terjadi. Misalnya dalam
malapetaka di Bosnia yang
baru lalu, atau tragedi di Ambon dan Aceh, atau serangan Israel ke
Palestina, kita bisa memohon kepada Allah agar penderitaan
saudara-saudara kita di sana
segera berakhir dan Allah mengutuk mereka yang lalim.
Disunnahkannya qunut nazilah yang sejalan dengan pendapat ini
adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa‘d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan
ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits. Qunut nazilah tidaklah manzukh sejak
turunnya al-Qur‘an surat
alimran ayat 128, sebagaimana hadist Abu Hurairah riwayat Bukhari-Muslim yang
artinya:
“Adalah Rasulullah shollallahu „alaihi wa alihi wa sallam ketika
selesai membaca (surat
dari raka‟at kedua) di shalat Fajr
dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I’tidal) berkata : “Sami‟allahu liman hamidah
rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalam keadaan berdiri. “Ya Allah
selamatkanlah
Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, „Ayyasy bin Abi Rabi‟ah dan orang-orang yang
lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas
kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti
tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah,
laknatlah kabilah Lihyan, Ri‟lu, Dzakw an dan „Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala
telah turun ayat: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu
atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya
mereka itu orang-orang yang zalim”. (HR.Bukhari-Muslim)
Menurut kalangan yang sepakat masih disunnahkannya qunut nazilah,
termasuk kalangan NU pada umumnya, berpendapat bahwa berdalilkan dengan hadits
tersebut di atas menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah,
karena dua hal: Pertama: ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana
yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut
hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali
kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara
yang ghoib.
Kedua: sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang artinya: Dari Abi
Hurairah radliyallahu `anhu beliau berkata: “Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk
kalian cara shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa
sallam. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya‟ dan Shubuh.
Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan
laknat untuk
orang-orang kafir”. (HR. Bukhari)
Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansukh. Andaikata qunut
nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara sholat
Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah.
b. Qunut Witir
Pada umumnya di kalangan warga NU mempraktekkan qunut witir,
khususnya untuk qunut witir setelah rukuk pada separuh kedua bulan Ramadhan.
Meskipun diakui bahwa memang ada perbedaan pendapat dari madzhab yang empat.
Perbedaan tersebut yaitu:
1) Menurut pengikut Imam Abu Hanifah (hanafiyah) qunut witir
dilakukan diraka‘at yang ketiga sebelum ruku‘ pada setiap shalat sunnah.
2) Menurut pengikut Imam Ahmad bin Hambal (hanabilah) qunut witir
dilakukan setelah ruku‘.
3) Menurut Pengikut Imam Syafi‘i (syafi‘iyyah) qunut witir
dilakukan pada akhir shalat witir setelah ruku‘ pada separuh kedua bulan Ramadlan.
4) Akan tetapi menurut pengikut Imam Malik qunut witir tidak
disunnahkan.
Dalam praktek peribadatan warga NU pada umumnya cenderung
mengambil
pendapat Imam Syafi'i. Di antara dasar yang mendukung pendapat ini
antara lain dari Sahabat dan Tabi‘in.
Dari Amr bin Hasan, bahwasanya “Umar radhiyallahu anhu menyuruh Ubay
radiyallahu „anhu mengimami shalat (tarawih) pada bulan Ramadhan, dan beliau
menyuruh Ubay radhiyallahu „anhu untuk melakukan qunut pada
pertengahan Ramadhan yang dimulai pada malam 16 Ramadhan.(HR. Ibnu Abi Syaibah)
Ma‘mar berkata: ―Sesungguhnya aku melaksanakan qunut Witir
sepanjang tahun, kecuali pada awal Ramadhan sampai dengan pertengahan (aku
tidak qunut), demikian juga dilakukan oleh al-Hasan al-Bashri, ia menyebutkan
dari
Qatadah dan lain-lain.
(Dalam kitab Mushannaf ‗Abdirrazzaq)
Syaikh al-Albani berkata: “Boleh juga do‟a qunut sesudah ruku‟ dan ditambah
dengan (do‟a) melaknat orang-orang kafir, lalu shalawat kepada Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam dan mendo‟akan kebaikan untuk kaum Musli-min pada pertengahan bulan
Ramadhan, karena terdapat dalil dari para Shahabat radhiyallahu „anhum di zaman
„Umar radhiyallahu „anhu. Terdapat keterangan di akhir hadits tentang
Tarawihnya para Shahabat radhiyallahu „anhum, Abdurrahman bin „Abdul Qari
berkata: „Mereka (para Shahabat) melaknat orang-orang kafir pada (shalat Witir)
mulai pertengahan Ramadhan, kemudian takbir, lalu melakukan sujud. (HR. Ibnu Khuzaiimah)
c. Qunut Subuh
H.M Cholil Nafis dalam sebuah tulisannya berkaitan dengan masalah
qunut subuh, mencoba mengkompromikan dua pendapat yang bertentangan di antara
Ulama Salaf. Pendapat yang pertama datang dari pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad yang
menyatakan bahwa hukum qunut subuh tidak disunnahkan. Sedangkan pendapat yang kedua, datangnya dari Imam Malik dan
Imam Syafi'i yang menyatakan bahwa qunut subuh hukumnya sunnah
hai‘ah. Sebelum lebih jauh mengetahui bagaimana Cholil Nafis mengkompromikan
dua pendapat yang berbeda itu dan pada akhirnya mengambil pendapat yang
menetapkan qunut subuh sebagai amalan sunnah terlebih, dahulu kita mengetahui
dasar-dasar dari pendapat yang berbeda itu. Pendapat yang menetapkan bahwa
qunut subuh tidak disunnahkan adalah berdasarkan hadis Nabi hadits Nabi SAW
bahwa Nabi pernah melakukan doa qunut pada saat shalat Fajar selama sebulan
telah dihapus (mansukh) dengan ijma‘ sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mas‘ud:
―Diriwayatkan oleh Ibn Mas‟ud: Bahwa Nabi SAW telah melakukan doa qunut
selama satu bulan untuk mendoakan atas orang-orang Arab yang masih
hidup,
kemudian Nabi SAW meninggalkannya. (HR. Muslim)
Sedangkan pendapat madzhab yang menetapkan qunut subuh sunnah menyatakan
bahwa Rasulullah SAW ketika mengangkat kepala dari ruku‘ (i‘tidal) pada
raka‘at kedua shalat Shubuh beliau membaca qunut. Dan demikian
itu ―Rasulullah SAW lakukan sampai meninggal dunia (wafat). (HR. Ahmad dan
Abd Raziq).
Imam Nawawi menerangkan dalam kitab Majmu‘nya:
―Dalam Madzhab kita (madzhab Syafi‟i) disunnahkan membaca
qunut dalam
shalat Shubuh, baik karena ada mushibah maupun tidak. Inilah
pendapat mayoritas ulama‟ salaf. (al-Majmu‘, juz 1 : 504)
Cara pengkompromian yang dilakukan Chalil Nafis untuk mendapat
kesimpulan hukum (thariqatu al-jam‟i wa al-taufiiq) adalah, bahwa hadits Abu Mas‘ud (dalil pendapat Hanafiyyah)
menegaskan bahwa Nabi SAW telah melakukan qunut selama sebulan lalu
meninggalkannya tidak secara tegas bahwa hadits tersebut melarang qunut shalat
Shubuh setelah itu. Hanya menurut interpretasi ulama yang menyimpulkan bahwa
qunut shalat subuh dihapus (mansukh) dan tidak perlu diamalkan oleh umat
Muhammad SAW. Sedangkan hadits Anas bin Malik (dalil pendapat Malikiyyah dan
Syafi‘iyyah)
menjelaskan bahwa Nabi SAW melakukan qunut shalat subuh dan terus
melakukannya sampai beliau wafat.
Chalil sampai pada kesimpulan, bahwa ketika interpretasi sebagian
ulama bertentangan dengan pendapat ulama lainnya dan makna teks tersurat (dzahirun
nashs) hadits, maka yang ditetapkan (taqrir) adalah hukum yang sesuai dengan
pendapat ulama yang berdasrkan teks tersurat hadits shahih. Jadi,
hukum melakukan edoa qunut pada shalat subuh adalah sunnah ab‟adh, yakni ibadah
sunnah yang jika lupa tertinggal mengerjakannya disunatkan
melakukan sujud
sahwi setelah duduk dan membaca tahiyat akhir sebelum salam.
Terdapat pula hadis-hadis yang menguatkan pendapat tersebut, yakni: Hadis Anas
r.a.:
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. berqunut selama sebulan mendoakan
kebinasaan atas mereka, kemudian meninggalkannya. Maka adapun pada sembahyang
subuh, beginda masih berqunut sehingga wafat. (HR jamaah dan dianggap sahih
oleh al-Hakim, al- Baihaqi,
al-Daruquthni dll.)
Riiwayat dari al-Awwam bin Hamzah, katanya: “Aku bertanya Abu Usman
mengenai qunut pada sembahyang subuh, dia berkata: Selepas rukuk. Aku berkata:
Dari siapa? Dia berkata: Dari Abu Bakar, Umar dan Ustman.
(HR al-Baihaqi dan dianggapnya
sebagai sahih)
Riwayat al-Baihaqi dari Abdullah bin Mua‘qqal, katanya: “Ali berqunut pada
sembahyang subuh.”
Di dalam al-Mudauwanah al-Kubra: Waqi‘ berkata dari Fithr dari
Atho‘,
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. berqunut pada sembahyang subuh,
dan sesungguhnya Abu Musa al-Asy‟ari, Abu Bakrah, Ibnu Abbas dan al-Hasan berqunut pada sembahyang
subuh.”
Riwayatkan dari Anas bin Malik dan Abu Rafi‘ bahwa kedua-duanya
bersembahyang subuh di belakang Umar, dia berqunut selepas rukuk.
2. Muhammadiyah
a. Qunut Nazilah
Dalam masalah qunut nazilah Tarjih Muhammadiyah menampung adanya
pemahaman yang berbeda dan belum dapat dipertemukan, disebabkan pemahaman yang
berlainan mengani hadis yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw tidak mengerjakan
qunut Nazilah setelah diturunkan surat
Ali Imran ayat 128:
Artinya:
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau
Allah menerima Taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka
itu orang-orang yang zalim”.
Dalam doa itu Rasulullah mohon dikutuknya mereka yang telah melakukan
kejahatan dan dimohonkan pembalasan Allah terhadap mereka. Kemudian turunlah
ayat di atas.
Pemahaman Tarjih yang timbul dari riwayat tersebut ialah:
1. Bahwa qunut nazilah tidak boleh lagi diamalkan
2. Boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kata kutukan dan
permohonan terhadap perorangan.
b. Qunut Subuh
Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, bahwa di kalangan
Muhammadiyah pada umumnya, qunut yang dibaca khusus pada raka‘at kedua
setelah rukuk dalam shalat subuh tidak ada. Tarjih Muhammadiyah menjelaskannya
lebih lanjut sebagaimana uraian berikut:
Di samping perkataan qunut yang berarti tunduk kepada Allah dengan
penuh kebaktian‘, Muktamar dalam keputusannya menggunakan makna qunut yang
berarti ―berdiri (lama) dalam shalat dengan membaca ayat al-Qur‘an dan berdoa
sekehendak hati.
Dalam perkembangan sejarah fiqh, demikian Abdul Munir Mulkhan, di
masa lampau orang atelah cenderung untuk memberi arti khusus pada apa yang
dinamakan qunut, yakni: ―berdiri sementara pada
shalat shubuh sesudah ruku‘
pada raka‘at kedua dengan membaa doa: “Allahummahdini fiman
hadait… dan
seterusnya Muktamar Tarjih tidak sependapat
dengan pemahaman tersebut berdasarkan pemikiran bahwa:
1) Setelah diteliti kumpulan maam-macam hadis tentang qunut, maka
muktamar berpendapat bahwa qunut sebagai bagian dari pada shalat tidak khusus
hanya ditamakan pada shalat subuh.
2) Bacaan doa: ―Allahummahdini fiman hadait dan seterusnya tersebut tidaklah sah.
3) Penerapan hadis hasan tentang doa tersebut dalam phoin (2)
untuk khusus dalam qunut subuh tidak dibenarkan.
Terus terang, penulis belum menemumukan dasar yang rinci dari pengistimbathan
hukum qunut subuh oleh tarjih Muhammadiyah tersebut. Namun, dalam sebuah situs pdmbontang.com, situs resmi Muhamamdiyah kota Bontang, terdapat
sebuah tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad Dzulkarnain, yang menyangkal disunnahkannya
qunut subuh.
Abu Muhammad Dzulkarnain mengatakan bahwa, dalil hadis: ―Terus-menerus
Rasulullah shollallahu alaihi wa a lihi wa sallam qunut pada
sholat subuh sampai beliau meninggal dunia yang
dikeluarkan oleh Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf
3/110 no.4964, terdapat dalam kitab-kitab lain adalah ―mungkar”. Menurutnya,
hadits ini memang dishahihkan oleh Muhammad bin Ali Al-Balkhy dan
Al-Hakim
sebagaimana dalam Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui
pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy
berkata:
―Bagaimana bisa sanadnya menjadi shahih sedang rawi yang
meriwayatkannya dari Ar-Rob i‘ bin Anas adalah Abu Ja‘far Isa bin Mahan Ar-Rozy
mutakallamun fihi
(dikritik). Berkata Ibnu Hambal dan
An-Nasa`i : ―Laysa bil qowy (bukan orang
yang kuat). Berkata Abu Zur‘ah: ―Yahimu
katsiran (Banyak salahnya). Berkata Al- Fallas : ―Sayyi`ul
hifzh (Jelek hafalannya). Dan berkata Ibnu Hibban: ―Dia
bercerita dari rawi-rawi yang masyhur hal-hal yang mungkar.
Lebih jauh, Abu Muhammad Dzulkarnain mengutip pendapat Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma‘ad jilid I setelah
menukil suatu keterangan dari gurunya Ibnu
Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang
diriwayatkan oleh Abu Ja‘far Ar-Rozy, beliau berkata: ―Dan yang dimaksudkan
bahwa Abu Ja‘far Ar-Rozy adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar,
sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits
periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya.
Hadits yang sedang kita bahas itu memiliki ini memiliki tiga jalan
dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, tetapi semuanya jalan tersebut dianggap
lemah. Di antara mereka yang melemahkannya adalah adalah Ibnul Jauzi dalam
al-Ilal al
Mutnahiyah (1/444), Ibnu at Turkimani dalam Ta‘liq ala al Baihaqi,
Ibnu Taimiyyah dalam Majmu‘ Fatawa (22/374), Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma‘ad
(1/99), al Hafidz Ibnu Hajar dalam at Talkhis al Khabir (1/245). Dan diantara
ulama mutaakhkhirin adalah al Albani dalam silsilah ad Dha‘ifah (1/1238)
Selain itu, hadis tersebut bertentangan dengan logika; yaitu
bagaimana mungkin Nabi saw. selalu qunut dalam shalat subuh dan membaca do‘a
rutin sementara tidak diketahui sama sekali do‘a yang dibaca itu. Tidak dalam
hadits shahih maupun dhaif. Bahkan para sahabat yang paling mengerti tentang
sunnah seperti Ibnu Umar radhiallahu‘anhuma mengingkarinya dengan mengatakan: “Kami tidak pernah melihat dan
tidak mendengarnya.” Apakah masuk akal jika dikatakan Nabi Shalallahu alaihi wassalam
selalu qunut, sedangkan Ibnu Umar radhiallahu‘anhu
bersaksi: “Kami tidak pernah melihat dan mendengarnya?” demikian, sebagaimana termaktub
dalam Majmu‟ Fatawa.
Selain itu, beberapa dalil yang biasanya dipakai untuk menyangkal
pendapat yang mengatakan qunut subuh adalah sunnah adalah hadist berikut:
Dari Abu Malik al-Asyaja‘i, katanya: ―Aku berkata kepada ayahku: Wahai
ayahku, sesungguhnya engkau pernah bersembahyang di belakang Rasulullah s.a.w.,
Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, di sini di Kufah selama hampir lima tahun,
adakah mereka berqunut?‘ Dia menjawab: Wahai anakku itu adalah bid‘ah.‘ (HR
Ahmad, al-Tarmizi & Ibnu Majah)
Ibnu Mas‘ud, berkata: ―Rasulullah saw. tidak pernah berqunut di
dalam
sembahyangnya sekalipun. (HR al-Thabrani, al-Baihaqi &
al-Hakim)
Sesungguhnya Nabi saw. pernah berqunut sebulan lamanya, kemudian
baginda meninggalkannya (tidak berqunut lagi). (HR Ahmad)
Meski Muhammadiyah berprinsip untuk tidak bermadzhab, namun dalam
pendapatnya pada masalah qunut, sejalan dengan pendapat Madzhab Hanafi dan
Hambali.
D. Shalat Tarawih
Shalat tarawih adalah ibadah yang khusus dikerjakan pada bulan
Ramadhan, waktunya adalah setelah shalat Isya. Shalat Tarawih bisa dikerjakan
berjamaah,
maupun dengan cara munfarid (sendiri). Shalat Tarawih hukumnya
sunnah muakad. Semua keterangan diatas tidak terdapat ikhtilaf atau disepakati
oleh jumhur ulama, termasuk dari kalangan NU maupun Muhammadiyah. Ikhtilaf bab
shalat Tarawih terdapat pada cara pelaksanaannya, lebih khusus lagi pada jumlah
raka‘atnya. Di kalangan warga NU shalat tarawih biasa dikerjakan dengan 20
raka‘at dan diakhiri dengan 3 raka‘at witir. Sementara di kalangan warga
Muhammadiyah tarawih biasa dilaksanakan 8 raka‘at, dan diakhiri dengan 3
raka‘at witir. Pada pelaksanaan shalat witir yang menutup shalat tarawih pun
terdapat ikhtilaf. Kalangan Muhammadiyah melakukan shalat witir tiga raka‘at
sekali salam, dan tidak ada qunut pada separuh terakhir bulan Ramadhan.
Sedangkan NU melakukan shalat witir 3 raka‘at dengan dua raka‘at salam, dan
satu raka‘at salam, juga qunut witir pada separuh terakhir bulan Ramadhan. Apa
yang sudah dipraktekkan di kalangan Muhammadiyah tersebut sebenarnya berbeda
dengan apa yang diterangkan dalam kitab Putusan Tarjih Muhammadiyah mengenai
jumlah aka‘at shalat tarawih. Dalam HTP diterangkan bahwa jumlah rakakat shalat
tarawih plus witir tidak harus 11 raka‘at (sudah termasuk witir), tetapi bisa
kurang dari itu, asalkan jumlah raka‘atnya gasal. Demikian pula untuk shalat
witir, Tarjih Muhammadiyah memberikan beberapa pilihan, tidak hanya 3 raka‘at
saja.
Berbeda dengan Muhammadiyah, kalangan NU juga memiliki ciri khas
tersendiri dalam mengerjakan shalat tarawih dan witir, khususnya yang
dikerjakan berjamaah. Ciri khas, meski tidak dikerjakan oleh semua warga NU,
yakni ada pada suratan yang dibaca setelah membaca al-Fatihah, biasanya dimulai
dari surat at-
Takastur sampai al-Lahab untuk shalat tarawih. Pada bab ini, penulis hanya akan
membahas ikhtilaf shalat tarawih dan witir, beserta raka‘at serta suratan yang
dibaca pada shalat tarawih dan witir. Untuk pembahasan mengenai qunut witir
sudah kami bahas pada bab tersendiri, bersamasama dengan qunut subuh dan qunut
nazilah.
1. Muhammadiyah
Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah pembahasan
masalah shalat tarawih dimasukkan pada sub bab tersendiri, disatukan dengan
tuntunan mengenai shalat lail.
HTP menjelaskan bahwa shalat lail adalah shalat sunat yang biasa dilakukan oleh
Nabi saw pada waktu malam hari. Menurut Muhammadiyah shalat lail disebut juga shalat tahajjud, qiyamul-lail dan qiyamu
Ramadlan. Di samping itu juga sering disebut dengan shalat witir. Shalat
lail hukumnya sunnah, tetapi tarjih lebih senang menggunakan istilah „tathawwu‟ untuk ragam shalat semacam ini.
Dalam tanya jawab masalah agama di Majalah suara Muhammadiyah
pernah
disinggung masalah shalat tarawih. Di sana ditulis, bahwa shalat lail disebut shalat tahajjud karena, shalat tersebut
dilaksanakan setelah bangun tidur. Disebut shalat witir karena dalam
melaksanakan shalat tersebut diakhiri dengan witir (bilangan ganjil). Disebut qiyamul-lail karena, shalat tersebut
dilaksanakan hanya pada waktu malam. Disebut qiyamu Ramadlan karena shalat tersebut dilakukan
pada bulan Ramadlan dan istilah yang sering digunakan untuk shalat lail di
bulan Ramadlan adalah shalat tarawih karena, dalam shalat malam tersebut
dilaksanakan dengan bacaan yang bagus dan lama dan setelah empat raka‘at
pertama dan kedua ada istirahat sebentar.
Untuk mempermudah kita memahami pembahasan shalat lail karena dalam HPT diterangkan
dengan panjang lebar, maka alangkah baiknya pembahasannya ini kita pecah
menjadi tiga, yakni, shalat tarawih, dan shalat witir.
a. Shalat Tarawih
Jumlah raka‘at yang dituntunkan Tarjih dalam shalat tarawih adalah
11 raka‘at, dikerjakan dengan cara dua-dua raka‘at (sebanyak 4 kali) ditambah
tiga raka‘at witir. Pendapat tersebut didasarkan pada hadis Rasulullah saw yang
artinya:
Beralasan hadis Ibnu Umar yang mengatakan: “Seorang lelaki
bangkit berdiri lalu menanyakan: “Bagaimana cara shalat malam, hai Rasulullah?”
Jawab Rasulullah: “Shalat malam itu dua
raka‟at dua raka‟at. Jika engkau khawatir
akan terkejar shubuh, hendaklah negkau kerjakan witir atau satu raka‟at saja.” (HR. Jama‘ah)
Juga berdasar pada hadist Ibnu Abbas, yang artinya:
“Lalu aku berdiri di samping rasulullah; kemudian ia letakkan
tangan kanannya pada kepala saya dan digangnya telinga kanan saya dan
ditelitinya, lali ia shalat dua raka‟at kemudian dua raka‟at lagi, lalu dua raka‟at lagi kemudian dua raka‟at, lalu shalat witir, kemudian ia tiduran menyamping sehingga
datang bilal menyerukan adzan. Maka bangunlah ia dan shalat dua raka‟at singkat-singkat,
kemudian pergi shalat shubuh. (HR. Muslim)
Juga hadis Rasulullah yang artinya:
“Diriwayatkan dari Zaed bin Khalid al-Juhany ia berkata, sungguh
saya mencermati shalat Rasulullah saw. pada suatu malam, beliau shalat dua raka‟at yang ringanringan,
kemudian shalat dua raka‟at yang panjang (lama) sekali, lalu shalat dua raka‟at yang lebih pendek
dari dua raka‟at sebelumnya, lalu
shalat dua raka‟at yang lebih pendek
dari dua raka‟at sebelumnya, lalu
shalat dua raka‟at yang lebih pendek
dari dua raka‟at sebelumnya, lalu
shalat dua raka‟at yang lebih pendek
dari dua raka‟at sebelumnya, lalu
kemudian melakukan witir. Maka demikianlah, shalat tigabelas raka‟at.” [HR Abu Dawud, bab fi Shalat
al-Lail] Dalil
lain yang digunakan Dewan Tarjih Muhammadiyah adalah hadist dari Abu Salamah yang artinya sebagai
berikut:
“Diriwayatkan dari Abu Salamah Ibn „Abdul Rahman bahwa, ia
bertanya kepada „Aisyah r.a bagaimana shalat Rasulullah saw di bulan Ramadlan.
„Aisyah menjawab: Baik di bulan Ramadlan ataupun bukan bulan Ramadlan
Rasulullah saw melakukan shalat (lail) tidak lebih dari sebelas raka‟at. Beliau shalat empat
raka‟at; dan jangan
ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Kemudian
shalat lagi empat raka‟at; (demikian pula) jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya
shalat yang beliau lakukan. Lalu beliau shalat tiga raka‟at.” (HR al- Bukhari, Kitab Shalat
at-Tarawih, Bab Man Qama Ramadlan)
Mengenai cara pelaksanaannyanya, tentang berapa raka‘at lalu
salam, HPT
menyatakan: ―Jika engkau hendak mengerjakan shalat dengan cara
lain, maka yang sebelas raka‘at itu boleh engkau kerjakan dua-dua raka‘at, atau
empat-empat raka‘at seperti di atas, atau di enam raka‘at. Di samping juga
dinyatakan: ―Atau delapan raka‘at terus menerus dan hanya duduk pada
penghabisan salam. Dalil yang dijadikan rujukan adalah hadis Abdullah bin Abu
Qais dan hadist Abi Salamah, yang artinya:
Abdullah bin Abu Qais bertanya kepada Aisyah “Berapa raka‟at Rasulullah shalat
witir?” Ia menjawab: “Ia kerjakan witir empat lalu tiga atau enam lalu tiga,
atau delapan lalu tiga atau sepuluh lalu tiga, ia tak pernah berwitir kurang
dari tujuh raka‟at dan tidak lebih dari
tiga belas.” (HR.
Abu Dawud)
Selain itu juga berdasar pada hadis Abu Salamah, yang artinya:
Pernah Abu Salamah bertanya kepada Aisyah tentang shalat
Rasulullah, maka ia menjawab: “Ia kerjakan tiga belas raka‟at. Ia shalat delapan raka‟at
kemudian
shalat witir lalu shalat dua raka‟at sambil duduk kalau ia hendak ruku‟ ia bangkit lalu ruku‟. Kemudian dari pada itu
ia shalat dua raka‟at antara adzan dan iqamah pada shalat shubuh. (HR. Muslim)
Diterangkan riwayat Abu Dawud dari Qatadah, kadanya: “Nabi shalat
delapan raka‟at dengan tidak duduk
(tahiyat) kecuali pada raka‟at yang kedelapan. Dalam duduk itu membaca dzikir dan doa kemudian
membaca salam dengan salam yang terdengar sampai kepada kami; lalu shalat dua
raka‟at sambil duduk setelah
ia baca salam, kemudian ia shalat lagi satu raka‟at. Itulah sebelas raka‟at semuanya, hai
anakku.” (HR.
Abu Dawud)
Mengenai hadis Abdullah bin Qais, Tarjih memberi catatan
penjelasan bahwa yang dimaksud Shahabat Abdullan bin Abi Qais pada
pernyayaannya ialah bilangan raka‘at yang dikerjakan oleh Nabi sepanjang malam
hari.
Sedangkan mengenai surat yang
dibaca setelah al-Fatihah di setiap raka‘at shalat lain, Tarjih tidak
menentukan nama suratnya, melainkan hanya menyebutnya surat dari Al-Qur‘an.
Dasarnya ialah hadis dari Aisyah, yang artinya:
Aisyah pernah ditanya tentang shalat Rasulullah di tengah malam
lalu ia mengatakan: “Ia kerjakan shalat Isya dengan berjamaah kemudian ia
kembali kepada keluarganya, lalu shalat empat raka‟at kemudian ia pergi ke
peraduannya lalu tidur, di arah kepalanya terletak tempat air wudhu yang
ditutupi dan sikat gigi, sampai ia dibangunkan Allah pada saat ia dibangunkan
pada tengah malam, ia lalu menggosok giginya dan berwudhu, dengan sempruna
kemudian pergi ke tempat shalat lalu ia shalat delapan raka‟at.
“Dalam raka‟at-raka‟at itu ia membaca fatihah dan surat al-Quran dan ayat-ayat
lainnya. Ia tidak duduk (untuk tahiyat awal) selama itu kecuali
pada raka‟at ke delapan dan tidak
menutup dengan salam. Pada raka‟at ke sembilan ia membaca seperti seblumnya lalu duduk tahiyat
akhir membaca doa dengan macam-macam doa dan mohon kepada Allah serta
menyatakan keinginannya kemdian ia membaca salam sesekali dengan suara keras
yang hampir membangunkan isi rumah karena nyaringnya. Kemudian ia shalat sambil
duduk
dengan memabca Fatihah dan ruku‟ sambil duduk lalu ia
kerjakan raka‟at kedua serta ruku‟ dan sujud sambil duduk
kemudian membaca doa sepuas hatinya dan akhirnya menutup dengan salam dan lalu bangkit
pergi.
“Demikianlah selalu shalat Rasulullah sampai akhirnya
bertambah berat badannya. Maka lalu yang sembilan raka‟at itu dikurangi dua
sehingga menjadi enam dan tujuh ditambah dua raka‟at yang dikerjakan
sambil duduk. Demikianlah dikerjakan sampai Nabi
wafat. (HR Abu Dawud)
Tarjih menerangkan mengenai bilangan enam dan tujuh dalam hadis di
atas, yaitu bahwa Nabi mengerjakan shalat enam raka‘at lalu duduk untuk tahiyat awwal kemudian berdiri dan pada
raka‘at ketujuh menutupnya dengan salam lalu shalat dua raka‘at sambil duduk.Dari hadis tersebut di atas itulah didapati pengertian mengenai
mudahnya mengerjakan shalat lail,
sehingga tidak mengharuskan bilangan raka‘at sebelas, tetapi asalkan gasal.
Abdul Munir Mulkhan menulis, apa yang tercantum di HTP Muhammadiyah dalam
masalah shalat lail berbeda dengan praktik kebiasaan di kalangan warga Muhammadiyah,
khusunya yang menyangkut jumlah raka‘at. Hal ini juga bisa dilihat pada putusan
Tarjih mengnai jumlah raka‘at witir.
b. Shalat witir
Kalau dalam praktik dan kebiasaan warga Muhammadiyah melakukan
witir 3 raka‘at, dalam HTP diterangkan bahwa witir tidak harus 3 raka‘at.
Melainkan, bisa 1, 3, 5, atau 9 raka‘at. Dasar pelaksanaan witir 3 raka‘at
adalah sebagaimana hadis dari Aisyah tersebut di atas.
Berikut akan dikemukakan penjelasan Tarjih mengenai ragam jumlah
raka‘at witir, sebagaimana telah ditulis Abdul Munir Mulkhan (2007):
a. Satu atau tiga raka‘at. Ragam jumlah raka‘at witir satu atau
tiga demikian berdasarkan dua buah hadis Aisyah yang artinya sebagai berikut:
“Adapun Rasulullah mengerjakan shalat pada waktu antara ia selesai
shalat Isya
yaitu yang orang namakan „atamah hingga fajar sebelas raka‟at dengan membaca salam
antara dua raka‟at lalu shalat witir
satu raka‟at, kemudian apabila
muadzin telah selesai seruan shubuhnya, dan terlihat olehnya akan fajar dan
Bilal menghampirinya ia lalu shalat dua raka‟at singkat-singkat
kemudian berbaring pada lambung kanan sampai muadzin datang kepadanya untuk
seruan iqamah”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dasar lainnya adalah:
“Asisyah menerangkan: “Adapun Rasulullah mengerjakan shalat witir
tiga raka‟at dengan tidak
dipisah-pisahkan (HR.
Ahmad, Nasai, Baihaqi, dan Hakim
mengatakan bahwa hadis shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim)
b. Lima
atau tujuh raka‘at. Penjelasan tarjih mengenai jumlah raka‘at witir menyatakan
bahwa bilangan raka‘at witir dpat terdiri dari lima atau tujuh raka‘at dengan duduk pada penghabisannya.
Dasar dari ragam jumlah raka‘at witir di ata ialah hadis Abu Hurairah, Airyah,
Ummi salamah dan Ibnu Abbas.
Hadis Abu Hurairah, yang artinya:
Dari Nabi Saw, ia berkata: “Jangan mengerjakan witir tiga raka‟at seperti shalat
maghrib (dengan tahiyat awal). Hendaklah kamu kerjakan lima atau tujuh raka‟at”. (HR. Daraquthni, Ibu Hibban, dan
Hatim dengan kata-kata yang berbeda.
Kata al Iraqi sanadnya shohih)
Hadist Aisyah, yang artinya:
Rasulullah sering mengerjakan shalat malam tiga belas raka‟at dengan perhitungan lima daripadanya selaku
witir yang ia kerjakan terusan tanpa duduk kecuali pada akhirny” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist Ummi Salamah, yang artinya:
“Rasulullah selalu mengerjakan witir tujuh atau lima raka‟at tanpa dipisah antara
semuanya dengan bacaan salam atau lainnya.(HR. Nasai dan Ibnu Majah)
Dan hadis Ibnu Abbas, yang artinya:
“Kemudian Nabi shalat tujuh atau lima raka‟at dengan pengertian
witir, yang tidak ia memabca salam kecuali pada raka‟at terakhir.” (HR. Abu Dawud)
c. Tujuh raka‘at. Penjelasan tarjih mengenai ragam bilangan witir
menyatakan bahwa berjumlah tujuh raka‘at dengan duduk tasyahud awwal pada raka‘at keenam dan
diakhiri pada raka‘at ketujuh dengan duduk untuk salam. Dasarnya ialah hadis
Sa‘ad bin hisyam, yang artinya sebagai berikut:
“Maka setelah ia bertambah berat badannya karena usia lanjut, ia
kerjakan witir tujuh raka‟at dengan hanya duduk antara yang keenam dan yang ketujuh untuk
hanya membaca salam pada raka‟at yang ketujuh.” (HR. Ahmad, Nasai, dan
Abu Dawud)
d. Sembilan Raka‘at. Tarjih menyatakan bahwa ragam jumlah bilangan
raka‘at witir ada yang mencapai sembilan raka‘at. Dalam hal ini tarjih
menyatakan bahwa jumlah witir ialah sembilan raka‘at dengan duduk tasyahud
awwal pada raka‘at kedelapan dan diakhiri pada raka‘at kesembilan dengan duduk
untuk salam.
Penjelasan mengenai jumlah raka‘at sebanyak sembilan raka‘at
tersebut didasarkan sumber dalil dari hadis Aisyah sebagaimana telah dikutip
dalam bahasan mengenai ketentuan membaca fatihah dan surat dari al- Qur‘an sebagaimana telah
tersebut di atas.
Kemudian, mengenai surat-surat yang dibaca dalam shalat witir
sebagaimana kebiasaan Rasulllah, dalam HTP dijelaskan bahwa surat
yang dibaca ialah surat
al-A‘la sesudah membaca al-Fatihah pada raka‘at pertama. Selanjutnya, membaca surat al-Kafirun pada raka‘at kedua, sementara itu surat al-Ikhlas dibaca
pada raka‘at ketiga. Cara demikian ini berdasarkan hadis Ubai Bin Ka‘ab yang
artinya:
Bahwasannya, Nabi saw pada shalat witir, ia membaca: “Sabbihisma
rabikal a‟la dan “Qul ya-ayyuhal
kafirun” pada raka‟at kedua dan: “Qulhuwallahu ahad‟ pada raka‟at ketiganya.” (HR. Nasai dan Tirmidzi serta
Ibnu majah)
Demikianlah pendapat Muhammadiyah berkaitan dengan shalat lail, qiyamu Ramadhan, atau tarawih dan juga shalat
witir. Ternyata memang cukup panjang
sehingga dimasukkan dalam sub bab khusus, tidak digabung dengan
shalat sunnah atau tathawwu‘ yang lain.
2. Nahdhatul Ulama (NU)
a. Shalat tarawih
NU memiliki basis massa
tidak hanya dipelosok-pelosok pedesaan, tetapi juga di pesantren-pesantren.
Praktik shalat tarawih di lingkungan pesantren dan luar pesantren yang nota
bene masih sama-sama NU ternyata memiliki ciri khas sendiri-sendiri. Jumlah
raka‘atnya kalangan NU menyepakati yang 20 raka‘at ditambah dengan 3 raka‘at witir.
Ciri khas tersebut terletak pada suratan yang dibaca setelah fatihah. Sebelum
lebih jauh ke sana,
barangkali lebih tepat jika kita bahas lebih dulu mengenai dasar-dasar yang
digunakan NU berkaitan dengan shalat tarawih. Bahwa shalat tarawih secara berjamaah
adalah mengikuti tuntunan dari shahabat Umar bin Khaththab r.a. dan Sahabat
Umar beserta pada shabat yang lain menjalankannya 20 raka‘at ditambah 3 raka‘at
witir. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab al- Muwaththa‘, juz I, yang
artinya sebagai berikut:
Dari Yazid bin Hushaifah, “Orang-orang (kaum muslimin) pada masa Umar melakukan shalat
tarawih di bulan Ramadhan 23 raka‟at.”
Selain dasar di atas, sebagaimana ditulis KH Munawwir Abdul Fattah
dari Pesantren Krapyak Yogyakarta, bahwa Warga Nahdliyyin yang memilih Tarawih
20 raka‘at ini berdasar pada beberapa dalil. Dalam Fiqh as-Sunnah Juz II, disebutkan bahwa
mayoritas pakar hukum Islam sepakat dengan riwayat yang menyatakan bahwa kaum
muslimin mengerjakan shalat pada zaman Umar, Utsman dan Ali sebanyak 20
raka‘at.
Juga berdasar dari hadis Ibnu Abbas yang meriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW shalat Tarawih di bulan Ramadhan sendirian sebanyak 20 Raka‘at
ditambah Witir. (HR
Baihaqi dan Thabrani).
Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa Rasulullah shalat bersama kaum
muslimin sebanyak 20 raka‘at di malam Ramadhan. Ketika tiba di malam ketiga,
orang-orang berkumpul, namun Rasulullah tidak keluar. Kemudian paginya beliau
bersabda:
“Aku takut kalau-kalau tarawih diwajibkan atas kalian, kalian tidak
akan mampu
melaksanakannya.”
Hadits tersebut di atas disepakati kesahihannya dan tanpa
mengesampingkan hadits lain yang diriwayatkan Aisyah yang tidak menyebutkan
raka‘atnya. (Dalam hamîsy Muhibah, Juz II, hlm.466-467)
Hadis lengkapnya adalah sebagai berikut:
“Pada suatu malam Rasulullah saw. keluar dan shalat di masjid,
maka ada beberapa bermakmum padanya dan pada pagi harinya orang bicara, bahwa
ia telah shalat bersama Rasulullah semalam, maka berkumpullah orang-orang dan
ikut shalat bersama Nabi saw. Dan pada pagi hari mereka juga memberitahu kepada
kawankawannya sehingga banyak orang yang shalat di malam ketiga, dan Rasulullah
saw. tetap keluar untuk shalat bersama mereka, kemudian pada malam keempat
penuhlah masjid sehingga tidak muat masjid karena banyaknya orang, tetapi
Rasulullah saw sengaja tidak keluar kecuali setelah adzan subuh untuk shalat
subuh, kemudian setelah shalat subuh menghadap kepada Shahabat dan membaca dua
kalimat syahadat lalu bersabda: Amma ba‟du, sebenarnya keadaanmu semalam telah aku ketahui, tetapi sengaja
aku tidak keluar karena kuatir kalau-kalau shalat malam ini diwajibkan atas
kalian sehingga kalian mereasa tidak kuat melaksanakannya.” (HR. Bukkhari dan Muslim)
Demikianlah dasar shalat tarawih di kalangan NU, meskipun tidak
terlalu panjang tetapi sudah dianggap cukup untuk mengambil cara pelaksanaan
shalat
tarawih yang 20 raka‘at.
Ciri khas pelaksanaan shalat tarawih di ―masjid-masjid NU yakni biasanya ada seorang petugas yang dikenal dengan istilah
bilal yang tugasnya adalah akan mengumumkan tibanya shalat tarawih. Shalat
tarawih dikerjakan dengan cara dua raka‘at salam. Pada tiap raka‘at pertama
biasanya setelah al-Fatihah membaca surat-surat pendek, yang diawali dengan surat at-Takastur, demikian seterusnya hingga pada surat al-Lahab. Sementara
untuk raka‘at yang kedua suratan yang dibaca adalah surat al-Ikhlas.
Para imam Tarawih NU umumnya,
demikian Munawir Fattah memilih shalat yang tidak perlu bertele-tele. Sebab ada
hadits berbunyi: "Di belakang Anda ada
orang tua yang punya kepentingan. Maka, 23 raka‘at umumnya shalat Tarawih
lengkap dengan Witirnya selesai dalam 45 menit.
Tetapi di lingkungan pesantren terkadang berbeda. Ada beberapa ―pesantren NU yang mengerjakan tarawih dengan membaca surat-surat yang panjang.
Dalam 20 raka‘at tarawih ada yang sampai menyelesaikan 2 juz al-Qur‘an. Apa
yang dilakukan di pesantren tidak berbeda jauh dengan shalat tarawih di
Masjidil Haram, Makkah. Di sana,
23 raka‘at diselesaikan dalam waktu kira-kira 90-120 menit. Surat yang dibaca imam ialah ayat -ayat suci
Al-Qur‘an dari awal, terus berurutan menuju akhir Al-Qur‘an.
b. Shalat Witir
Shalat witir sebagai penutup shalat tarawih di kalangan NU
dikerjakan 3 raka‘at dengan cara dua raka‘at salam dan diteruskan dengan satu
raka‘at salam. Hal tersebut sesuai dengan apa yang tertulis dalam kitab Shalat al-Tarawih fi Masjid al-Haram bahwa shalat Tarawih di Masjidil
Haram sejak masa Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Usman, dan seterusnya sampai
sekarang selalu dilakukan 20 raka‘at dan 3 raka‘at Witir. Untuk suratan yang
dibaca setelah al-Fatihah dalam shalat witir, pada raka‘at pertama dianjurkan surat al-A‘la dan raka‘at kedua adalah surat al-Kafirun. Hal ini senada dengan
Muhammadiyah dan dasar yang digunakan juga sama. Yang berbeda adalah raka‘at
witir yang ketiga. Raka‘at witir yang ketiga dikerjakan sendiri, atau dengan 1
raka‘at. Biasanya surat yang dibaca secalah
al-Fatihah adalah surat
al-Ikhlas, ditambah al-Falaq, dan an-Nas. Selain itu pada separuh terakhir
bulan ramadhan, pada raka‘at yang ketiga ini, setelah bangun dari rukuk
dilakukan pembacaan qunut, biasa disebut dengan qunut witir
E. Dzikir
Dzikir merupakan ibadah yang banyak disinggung baik dalam
al-Qur‘an maupun hadist. Dzikir merupakan perintah Allah yang (sebenarnya)
mestilah dilaksanakan setiap saat, di manapun dan kapan pun. Dzikir bisa
dilakukan dengan hati dan lisan, dan dengan sendiri maupun dalam sebuah
kelompok (majlis dzikir).
Dzikir memiliki banyak keutamaan, salah satunya adalah dapat
membuat hati menjadi tenang. Karena itulah maka dzikir mesti kerap dilakukan,
agar hati senantiasa tenang dan senantiasa mengingat Allah. Firman Allah:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama)
Allah, zikir
yang sebanyak-banyaknya. (Q.S. al-Ahzab: 41)
Rasulullah telah memberikan contoh berkaitan dengan bacaan-bacaan
dzikir atau doa. Demikian pula, berkaitan dengan waktu-waktu di mana kita
disunnahkan membaca dzikir tertentu, seperti dzikir setelah shalat, dan lain
sebagainya.
Berkaitan dengan keutamaan-keutamaan dzikir, NU dan Muhammadiyah
tidaklah berselisih pendapat. Perbedaan pendapat dalam masalah dzikir ada pada
tata cara pelaksanaannya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa di Masjid-masjid di mana warga NU
menjadi basisnya, setiap kali ba‘da shalat biasa dilaksanakan dzikir berjamaah,
yang mana dipimpin oleh Imam shalat. Dzikir tersebut kemudian dilanjutkan
dengan doa yang dipimpin Imam dan diamini oleh makmum. Bukan hanya dzikir
setelah shalat, NU juga memiliki tradisi melakukan puji-pujian (shalawat,
syair, dll) yang dilantunkan sebelum shalat berjamaah. Di kalangan warga NU
juga biasa digelar acara istighasah, mujahadah, atau dzikir akbar, yakni sebuah acara yang intinya
adalah doa dan dzikir bersama dalam sebuah majlis dzikir. Acara tersebut
biasanya dilakukan di lapangan, masjid, atau tempat-tempat lain dengan
menggunakan pengeras suara.
Sementara itu di Masjid-masjid di mana warga Muhammadiyah menjadi
basisnya, tak ada dzikir berjamaah yang dipimpin oleh Imam setelah shalat.
Muhammadiyah tidak pula tertarik untuk menggelar dzikir atau doa
bersama, atau istighasah. Lebih jelasnya tentang masalah ini, marilah kita
simak dalil dan pendapat dari NU dan Muhammadiyah berikut.
1. Muhammadiyah
Dalam majalah Suara Muhammadiyah pernah muncul sebuah pertanyaan, begini: ―Dzikir dengan suara
keras selesai shalat wajib menurut Ibnu Abbas biasa dilakukan pada masa
Rasulullah saw, apakah dapat diamalkan?
Sebelum kami tuliskan jawaban dari Suara Muhammadiyah, lebih dulu kami singgung bahwa
dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah tidak terdapat keterangan yang
detail berkaitan dengan tata cara berdzikir, lebih-lebih dzikir yang khusus
dilaksanakan selesai shalat. Pada pembahasan masalah ―Amal Setelah Shalat
Berjama‘ah dalam HPT terdapat keterangan
bahwa setelah shalat berjamaah Imam menghadap ke arah ma‘mum sisi kanan.
Landasannya, salah satunya adalah hadis dari Samarah yang artinya sebagai
berikut:
“Adalah Nabi Saw, apabila telah selesai mengerjakan shalat beliah
menghadap
mukanya kepada kita.”
Selain itu, Tarjih juga menyatakan agar setelah selesai shalat
berjamaah, supaya jamaah shalat duduk sebentar. Dasarnya ialah hadits Abu
Hurairah berikut:
“Sesungguhhnya para Malaikat memintakan Rahmat untuk salah
seorang dari kamu selama masih duduk di tempat shalatnya dan sebelum berhadats;
para malaikat mendoakan: “Ya Allah, ampunilah dosanya dan kasihanilah ia.”
Selain keterangan di atas, tidak kami temukan pembahasan yang
rinci berkaitan dengan masalah dzikir dalam HPT. Namun demikian, Muhammadiyah
menegaskan dan menjelaskan pendapat-pendapatnya bukan hanya lewat HPT melainkan
juta lewat media lain, baik elektronik maupun cetak.
Dalam menjawab pertanyaan di Majalah Suara Muhammadiyah mengenai dzikir dengan suara
keras setelah shalat, telah kutip ayat-ayat al-Qur‘an dan hadis yang
berhubungan dengan dzikir dan doa, meskipun tidak semuanya.
Memang, terdapat sebuah hadis yang dari Ibnu Abbas yang menyatakan
bahwa Rasulullah pernah melakukan dzikir dengan suara keras. Yaitu, hadist yang
artinya sebagai berikut:
“Dahulu kami mengetahui selesainya shalat pada masa Nabi karena
suara dzikir
yang keras".
Namun demikian hadis tersebut, dianggap bertentangan dengan
al-Qur‘an dan beberapa hadis lainnya. Dalam surat Al-A‘raf ayat 55 Allah berfirman:
Artinya:
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang
lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima)
dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada
orang-orang yang berbuat baik.
Surat Al-A‘raf ayat 205:
Artinya:
Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri
dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang,
dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.
Dari dua ayat tersebut, Muhammadiyah berpendapat bahwa Allah
memerintahkan kepada kaum Muslimin agar berdoa dan berdzikir dengan merendahkan
diri, dalam arti lain tidak dengan mengeraskan suara. Untuk menegaskan pendapat
tersebut, tak lupa Muhammadiyah mendasarkannya pada hadist, yakni sebagai
berikut:
“Diriwayatkan dari Abu Musa, ia berkata: Kami pernah bersama Nabi
saw dalam
suatu perjalanan, kemudian orang-orang mengeraskan suara dengan
bertakbir. Lalu Nabi saw bersabda: Wahai manusia, rendahkanlah suaramu. Sebab
sesungguhnya kamu tidak berdoa kepada (Tuhan) yang tuli, dan tidak pula jauh,
tetapi kamu sedang berdoa kepada (Allah) Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat.” (HR. Muslim)
Demikian pula hadits yang diriwayatkan Abu Musa, menegaskan agar
merendahkan suara dalam berdoa kepada Allah, sebab Allah Swt tidak tuli dan
tidak jauh, melainkan Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.
Hadis yang berasal dari perkataan Ibnu Abbas tersebut, selain
dianggap bertentangan, dalam Fatawa-Fatawa Al-Bani diterangkan, bahwa sebagain
Ulama menyimpulan lafal ―Kunnaa (kami dahulu), mengandung
isyarat halus, yang artinya perkara ini tidaklah berlangsung terus menerus. Dalam
hadist yang lain Rasulullah bersabda:
“Wahai sekalian manusia, masing-masing kalian bermunajat
(berbisik-bisik) kepada Rabb kalian, maka janganlah sebagian kalian
men-jahar-kan bacaannya dengan mengganggu sebagian yang lain.”
Al-Baghawi menambahkan hadis tersebut dengan sanad yang kuat.
"Sehingga mengganggu kaum mu'minin (yang sedang
bermunajat)".
2. Nahdhatul Ulama
Pembahasan masalah dzikir dan tata caranya di kalangan warga NU
akan kami muat dalam tiga bagian. Petama, dzikir dan syair sebelum shalat berjamaah;
kedua, dzikir dengan suara keras setelah shalat; dan ketiga, dzikir berjamaah (semisal
istighasah. dsb) yang diselenggarakan secara khusus.
a. Dzikir sebelum Shalat Berjama’ah
Setelah adzan, kita tentunya kerap mendengar lantunan puji-pujian
dari pengeras suara di masjid-masjid. Puji-pujian itu bisa syair yang berisi
nasehat dan peringatan, shalawat (baik shalawat Nabi, Nariyah, dan lan
sebaginya) maupun bacaan-bacaan dzikir yang lain. Dzikir dan syair biasanya
dilakukan dengan menggunakan pengeras suara, diikuti oleh hampir seluruh orang
yang hadir untuk menunggu datangnya imam shalat. Ketika imam telah datang dan
iqamat dilantangkan, maka berhenti pula syair dan dzikir tersebut. Perlu
diketahui, bahwa syair atau bacaan-bacaan dzikir yang dilagukan dari
masjid-masjid sebelum shalat berjamaah, tidak dilaksanakan di semua masjid.
Hanya masjid-masjid tertentu saja, yang mana (biasanya) masyarakat
disekitarnya adalah kaum Nahdhiyin.
Bagaimanakah hukum melantunkan syair dan dzikir sebelum shalat
berjamaah?
KH Muhyiddin Abdusshomad, telah menerangkan persoalan ini dalam
situs resmi Nahdhatul Ulama. Menurutnya, membaca dzikir dan syair sebelum
pelaksanaan shalat berjama'ah, adalah perbuatan yang baik dan dianjurkan.
Anjuran ini bisa ditinjau dari beberapa sisi.
Pertama, dari sisi dalil. Terdapat hadis yang menyatakan bahwa dahulu
pada masa Rasulullah Saw. para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam
sebuah
hadits:
Dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata:
“Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin
Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun
Hassan menjawab, „aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada
seorang yang lebih mulia darimu.‟ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan
perkataannya. „Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW,
jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh
al-Qudus.‟ Abu Hurairah lalu
menjawab, „Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).‟ ” (HR. Abu Dawud)
Berkaitan dengan hadis di atas, Syaikh Isma‘il az-Zain dalam Irsyadul Mu'minin ila
Fadha'ili Dzikri Rabbil 'Alamin menjelaskan bahwa, melantunkan syair yang berisi puji-pujian,
nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid adalah sesuatu yang
bukan dilarang oleh agama, dengan kata lain
hukumnya adalah mubah.
Kedua, dilihat dari sisi syiar dan penanaman akidah umat, menurut KH
Muhyiddin Abdusshomad, selain menambah syiar agama, amaliah tersebut juga
merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam
di tengah
masyarakat. Karena di dalamnya terkandung beberapa pujian kepada
Allah SWT, dzikir dan nasihat.
Misal, lantuan dzikir istighfar berikut:
Astaghfirullah, Rabbal baraya, astaghfirullah minal khathoya. Contoh lain, adalah syair
karangan Sunan Bonang berikut:
Tombo ati, iku ana limang perkoro, ingkan ndingin, maca qur‟an lan maknane, kaping
pindo, shalat wengi lakonono, kaping telu dzikir wengi ingkang suwe, kaping
papat, wetengi ngiro luwih ono, kaping limo, wong kang shaleh kumpulono. (obat
hati itu ada lima macam, pertama membaca al-Qur‟an berserta maknanya,
kedua shalat malam lakukanlah, ketiga, dzikir malam jalankanlah, keempat,
perutmu laparkanlah (puasa), kelima, berkumpullah dengan orang shaleh.
Dan masih banyak lagi syair-syair lain yang dianggap sangat
bermanfaat karena memberikan nasehat dan menedekatkan orang yang membacanya
kepada Allah Swt.
Ketiga, dari aspek psikologis, masih menurut KH Muhyiddin Abdusshomad,
lantunan syair yang indah itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan
suasana. Dalam hal ini, tradisi yang telah berjalan di masyarakat
tersebut dapat
menjadi semacam warming up (persiapan) sebelum masuk ke tujuan inti, yakni
shalat lima
waktu.
Selain ketiga manfaat tersebut, syair dan dzikir yang dilantunkan
sebelum shalat berjamaah bisa mengobati rasa jemu sembari menunggu waktu shalat
jama'ah dilaksanakan. Juga agar para jama'ah tidak membicarakan hal-hal yang
tidak perlu ketika menunggu shalat jama'ah dilaksanakan.
Berdasarkan dalil dan hujjah di atas, maka NU tetap melanggengkan
tradisi melantunkan dzikir dan syair sebelum shalat berjamaah di masjid dan
mushala. Namun begitu, perlu digaris bawahi, bahwa amalaiah ini tergantung pula
pada situai dan kondisi, tidak dibenarkan apabila sampai mengganggu orang yang
shalat dan membuat bising masyarakat di sekitar masjid atau mushala.
b. Dzikir Sesudah Shalat
Kita tahu, bahwa salah satu tujuan dzikir adalah untuk meraih
ketenangan, agar kita bisa lebih dekat dengan Allah Swt. Untuk mencapai tujuan
itu, tentu dibutuhkan dzikir yang tidak hanya sekedar ucapan lisan, melainkan
membutuhkan kesungguhan hati, dalam kata lain, dzikir mestilah dilakukan dengan
khusuk.
KH. Cholil Nafis, seorang ulama NU menulis, dzikir harus
dilaksanakan dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan hati yang khusyu' penuh
khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang khusyu' itu diperlukan
perjuangan yang tidak ringan. Cara untuk khusuk, menurutnya, berbeda-beda
setiap orang. Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara
duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika
berdzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan
dzikir atau dengan cara
dzikir pelan dan hampir tidak bersuara untuk mendatangkan
konsentrasi dan kekhusyu'- an. Satu sisi, memang terdapat dalil-dalil yang
menyuruh ummat muslim untuk berdzikir dengan suara yang lemah lembut, dan pada
sisi yang lain terdapat pula dalil yang membolehkan untuk berdzikir dengan
suara keras. NU menganggap dalil-dalil tersebut, baik antara al-Qur‘an dengan
hadist, maupun hadist dengan hadist, tidaklah saling bertentangan, karena
masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni disesuaikan dengan
situasi dan kondisi.
Beberapa dalil yang menunjukkan kebolehan dzikir dengan suara
keras setelah shalat antara lain hadist riwayat Ibnu Abbas:
“Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan
suara keras)
apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan
masjid.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Ibnu Adra‘ juga pernah berkata: "Pernah saya berjalan bersama
Rasulullah SAW lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang
mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin
dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, tapi dia
sedang mencari ketenangan."
Sementara dalil yang menjelaskan keutamaan berdzikir dengan secara
pelan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Sa'd bin Malik bahwasannya Rasulullah
saw bersabda:
"Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah
sesuatu yang
mencukupi."
Lalu, bagaimana pendapat Ulama NU dalam mengkompromikan dua hadits
yang seakan-akan kontradiktif itu? Cholil Nafis, mengutip penjelasan Imam
Nawawi sebagai berikut:
―Imam Nawawi menkompromikan (al-jam‟u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan
hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan
dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang
yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih
banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai
kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai,
terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran
jama‘ah, menghilangkan kantuk serta menambah semangat."
(Ruhul Bayan, Juz III).
Pendapat Imam Nawawi, sebagai juru bicara dari Madzhab Syafi'i,
sejalan dengan keterangan yang ditulis Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm,
bahwasanya
tujuan Nabi Saw. mengeraskan suaranya ketika berdzikir adalah
untuk mengajari orang-orang yang belum bisa melakukannya. Dan jika amalan
tersebut untuk hanya pengajaran maka biasanya tidak dilakukan secara terus
menerus. Masalah dzikir dengan suara keras juga disinggung dalam Fathul Mu‘in
karangan Imam Zainuddin al-Malibari, kitab yang sering dijadikan rujukan kaum
Nahdhiyin. Dalam kitab tersebut didapat keterangan bahwa berdzikir dengan suara
pelan setelah shalat adalah sunnah, baik bagi orang yang shalat sendirian,
maupun berjamaah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud
pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka.
Dari keterangan Zainuddin al-Malibari tersebut maka didapati hukum
berdzikir dengan suara keras setelah shalat adalah boleh. Jelaslah sekarang,
bahwa NU tidak mewajibkan atau mengharuskan warganya untuk berdzikir dengan
suara keras, melainkan tergantung kepada situasi dan kondisi; jika dalam
kondisi ingin
mengajarkan, membimbing dan menambah ke-khusyu‘-an maka
mengeraskan suara dzikir itu hukumnya sunnah dan tidak bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Bahkan dalam beberapa keadaan sangat dianjurkan untuk
mengeraskan dzikir, demikian menurut Chalil Nafis.
c. Dzikir Berjamaah
Salah satu amaliyah warga NU yang terkenal dan mengundang
kontroversi dari Ormas lain adalah Istighasah. Arti istighasah adalah memohon
pertolongan kepada Allah Swt. Pelaksanaan istighasah diisi dengan doa-doa dan
dzikir-dzikir tertentu yang dibaca secara berjamaah dan dipimpin oleh seorang
Imam istighasah.
Disebutkan dalam buku Antologi NU, bahwa dalam skala besar, PBNU
telah beberapa kali menggelas itighasah Nasional, yang dihadiri lebih dari satu
juga kaum Nahdziyin. Pernah diadakan di lapangan Parkir Monas Jakarta, Gelora
10 November dan Lapangan Makodam V brawijaya Surabaya. Di semua tingkat kepengurusan NU,
selalu akrab dengan budaya istighasah tersebut, kadang menggunakan istilah
istighasah hubro, istighasah nasional, dan lain sebagainya.
Dzikir yang dibaca dalam istighasah dikalangan NU memakai dzikir
yang dibakukan oleh Jami‘iyah Ahli Thariqah al-Muktabarah an-Nahdhiyah, ijazah
dari Sayikhana Chili Bangkalan.
Dalil dianjurkanya istighasah, atau dzikir berjamaah antara lain
al-Qur‘an surat
al-Imran ayat 191:
Artinya:
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata), "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Ada sementara kalangan yang tidak
menyepakati digunakannya dalil tersebut sebagai pembolehan dzikir berjamaah.
Mereka mengutip pendapat dari Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Khumayyis
dalam “Adz-Dzikr
al- Jama‟i baina al-Ittiba‟ wal Ibtida‟. Menurutnya, sighat (konteks)
jama‘ dalam ayat di atas (yakni kata ―yadzkuruna”) adalah
sebagai anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh kepada semua umat Islam untuk
berdzikir kepada Allah Swt. tanpa
kecuali, bukan anjuran untuk melakukan dzikir berjama'ah. Selain
itu jika sighat
jama‘ dalam ayat tersebut dipahami sebagai anjuran untuk melakukan
dzikir secara berjama'ah atau bersama-sama maka kita akan kebingungan dalam
memahami kelanjutan ayat tersebut. Disebutkan bahwa dzikir itu dilakukan dengan
cara berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim), lalu bagaimanakah praktek dzikir bersama-sama dengan cara berdiri,
duduk dan berbaring itu? Apakah ada dzikir berjama'ah dengan cara seperti ini?
Selain pernyataan ketidaksepakatan tersebut, yang dipermasalahkan
juga oleh mereka yang tidak sependapat adalah bahwa ayat tersebut turun kepada
Rasulullah Saw. dan para shahabat berada di samping beliau. Apakah Rasulullah
Saw. dan para shahabat memahami ayat tersebut sebagai perintah untuk dzikir
bersama-sama satu suara?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dalam buku Risalah Amaliah
NU, PCNU Kota Malang. Di sana
dibeberkan dalil-dalil lain yang membolehkan dzikir berjamaah, termasuk juga
istighasah. Bahwa Rasulullah dan para para sahabat pernah melantunkan syair
(Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit). Rasul Saw. dan sahabat r.a
bersenandung bersama sama dengan ucapan: "Haamiiim laa yunsharuun..".
Cerita ini termuat dalam buku sejarah tertua, yakni Kitab Sirah
Ibn Hisyam Bab Ghazwat Khandaq. Kitab ini dikarang oleh seorang Tabi‘in
sehingga datannya dianggap lebih valid. Pada bab Bab Hijraturrasul saw- bina' masjidissyarif, sebagaimana tertulis dalam
Risalah Amaliyah NU, para sahabat juga bersenandung saat membangun membangun
Masjidirrasul saw dengan melantunkan syair:
"Laa 'Iesy illa 'Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal
Muhaajirah."
Senandung para sahabat kemudian diikuti oleh Rasulullah dengan
semangat. Mengenai makna berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim), mengandung tafsir, bahwa ayat tersebut diatas lebih
dititikberatkan kepada bagaimana tata cara orang shalat, yaitu bisa dilakukan
dengan berdiri, duduk, maupun tiduran. Namun secara umum dapat juga diartikan
dzikir secara lafdziy. Seseorang dapat berdzikir kepada Allah dengan segala
tingkah sesuai kemampuannya. Dalam majlis dzikir, sebagian orang mungkin duduk,
sebagian lagi berdiri dan mungkin ada yang tiduran tergantung kondisi
masing-masing individu.
Selain dalil di atas, juga ada hadis Qudsy yang menyatakan anjuran
untuk berdoa, berdzikir, dengan sirran wa jahran (pelan dan terang), di dalam
hati, dalam sendiri maupun berjamaah.
"Bila ia (hambaku) menyebut namaKu dalam dirinya, maka Aku
mengingatnya dalam Diriku, bila mereka menyebut namaKu dalam kelompok besar,
maka Aku pun menyebut (membanggakan) nama mereka dalam kelompok yg lebih besar
dan lebih mulia". (HR Muslim).
Selain itu, Sabda Rasulullah Saw juga telah bersabda:
“Sungguh Allah memiliki malaikat yang beredar di muka bumi
mengikuti dan menghadiri majelis majelis dzikir, bila mereka menemukannya maka
mereka berkumpul dan berdesakan hingga memenuhi antara hadirin hingga langit
dunia,
bila majelis selesai maka para malaikat itu berpencar dan kembali
ke langit, dan Allah bertanya pada mereka dan Allah Maha Tahu : “Darimana
kalian?” Mereka menjawab: „Kami datang dari hamba hamba Mu, mereka berdoa
padamu, bertasbih padaMu, bertahlil padaMu, bertahmid pada Mu, bertakbir pada
Mu, dan meminta kepada Mu, Maka Allah bertanya: “Apa yg mereka minta?”,
Malaikat berkata: „Mereka meminta sorga, Allah berkata: „Apakah mereka telah
melihat sorgaku?,
Malaikat menjawab: „Tidak.‟ Allah berkata : “Bagaimana bila mereka melihatnya”.
Malaikat berkata: „Mereka meminta perlindungan-Mu, Allah berkata:
“mereka meminta perlindungan dari apa?”, Malaikat berkata: “Dari Api neraka”,
Allah berkata: “apakah mereka telah melihat nerakaku?”, Malaikat menjawab,
„tidak.‟
Allah berkata: „Bagaimana kalau mereka melihat neraka Ku. Malaikat
berkata: „Mereka beristighfar pada Mu.‟ Allah berkata: “Sudah kuampuni mereka, sudah kuberi permintaan
mereka, dan sudah kulindungi mereka dari apa apa yg mereka minta perlindungan
darinya.‟ Malaikat berkata:
“Wahai Allah, diantara mereka ada si fulan hamba pendosa, ia hanya lewat lalu
ikut duduk bersama mereka, Allah berkata: „Baginya pengampunanku, dan mereka
(ahlu dzikir) adalah kaum yg tidak ada yg dihinakan siapa siapa yg duduk
bersama mereka.”
Dzikir bersama, atau istighasah selain merupakan doa bersama dalam
rangka memohon pertolongan menghadapi permasalahan yang besar dan jalan yang
ditempuh semakin sulit, juga merupakan tandingan untuk panggung panggung
maksiat yang dari hari ke hari kian marak saja, menyeret pemuda
dan pemudi untuk larut, sehingga sangat mungkin akan melupakan Allah. NU
menganggap istighasah atau dzikir berjamaah merupakan suatu perbuatan yang
mulia karena
berusaha menggemakan nama Allah.
F. Penentuan Awal Bulan Qomariyah
Satu pertanyaan yang seringkali muncul di kalangan umat Islam
adalah, mengapa sering terjadi perbedaan awal Ramadhan, dan jatuhnya Hari Raya,
baik Idul Fitri/Idul Adha? Jawaban singkatnya, karena terdapat perbedaan metode
dalam penentuan awal bulan. Selain Departemen Agama—yang kini telah berubah
nama menjadi Kementerian Agama—dua ormas terbesar di Indonesia, yakni NU dan
Muhammadiyah selalu andil dalam menentukan awal Ramadhan, dan jatuhnya Idda‘in
(dua hari raya). Namun keduanya memiliki metode yang berbeda dalam penetapan
awal Ramadhan dan jatuhnya Idda‘in. NU menggunakan metode rukyat . Sedangkan Muhammadiyah lebih
cenderung menggunakan metode Hisab Astronomi, meski tidak meninggalkan sepenuhnya metode rukyat .
1. Nadhatul Ulama
Dalam menentukan kepastian awal bulan Qamariyah, khususnya awal
Ramadan, awal Syawal, dan awal Dzulhijjah, NU mendasarkan pada rukyat , bukan pada hisab; sesuai dengan nash dan aqwalul „ulama‟ yang dipegangi, demikian
keterangan dalam situs resmi NU. Namun, seiring perjalanan waktu NU yang semula
mendasarkan pada rukyat maju menjadi rukyat plus hisab dan seterusnya rukyat berkualitas plus hisab akurat, kemudian ditambah lagi menerima kriteria imkanur rukyat . Jadi NU mendasarkan kepada rukyat berkualitas dengan dukungan hisab yang akurat sekaligus menerima
kriteria imkanur rukyat . NU telah melakukan redefinisi hilal dan rukyat menurut bahasa, Al-Qur‘an, As- Sunnah dan menurut sains sebagai
landasan dan pijakan kebijakannya dalam penentuan awal Ramadhan, dan jatuhnya
hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Menurut Ghazalie Masroeri, Ketua Pengurus Pusat
Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama, hilal dalam bahasa Arab adalah sepatah kata isim yang terbentuk dari 3 huruf asal
yaitu ha-lam-lam, sama dengan terbentuknya kata
fi‘il dan Hilal artinya bulan sabit yang
tampak. Dalam konteks hilal mempunyai arti:
هَلَّ لهِلاَلُ dan هَلَّ
لهِلاَل
artinya bulan
sabit tampak.
هَلَّ لرَّجُلُ artinya seorang laki-laki melihat/memandang bulan sabit.
هَلَّ لقَوْمُ لهِلاَلَ artinya orang banyak teriak ketika melihat bulan sabit.
هَلَّ لشَّهْرُ artinya bulan (baru) dimulai dengan tampaknya bulan sabit.
Jadi menurut bahasa Arab, hilal itu adalah bulan sabit yang tampak pada awal bulan. Firman Allah:
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:
"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat)
haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi
kebajikan itu ialah kebajikan
orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya; dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (Q.S. Al-Baqarah:189)
Al-Qur‘an surat
Al-Baqarah ayat 189 di atas mengemukakan pertanyaan para
Shahabat kepada Nabi tentang penciptaan dan hikmah ahillah (jamak dari hilal). Atas perintah Allah SWT
kemudian Rasulullah SAW menjawab bahwa ahillah atau hilal itu sebagai kalender bagi ibadah dan aktifitas manusia termasuk
haji. Pertanyaan itu muncul karena sebelumnya para sahabat telah melihat
penampakan hilal atau dengan kata lain hilal telah tampak terlihat oleh para sahabat. Para
mufasir telah mendefinisikan, bahwa hilal itu mesti tampak terlihat. Ash-
Shabuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafasir juz I mengemukakan tafsir ayat tersebut sebagai berikut: ―Mereka bertanya kepadamu
hai Muhammad tentang hilal mengapa ia tampak lembut semisal benang selanjutnya membesar dan terus
membulat kemudian
menyusut
dan melembut sehingga kembali seperti keadaan semula?
Dalam pada itu Sayyid Quthub dalam tafsirnya Fii Zhilalil Qur‟an juz I menafsirkan ayat tersebut
sebagai berikut: ―Maka mereka bertanya tentang ahillah (hilal) … bagaimana
keadaan ahillah (hilal)? Mengapa keadaan qamar (bulan) menampakkan hilal lalu membesar
sehingga bulat menjadi purnama selanjutnya berangsur menyusut sehingga kembali menjadi
hilal lagi dan kemudian menghilang tidak tampak untuk selanjutnya menampakkan
diri menjadi hilal dari (bulan) baru?
Jadi, berdasarkan ayat tersebut didapat pengertian, hilal atau bulan sabit itu pasti
tampak terlihat. Masalah hilal juga sudah diterangkan dalam hadist Nabi Saw. Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud dari sahabat Nabi SAW bernama Rib‘i
bin Hirasy yang mengatakan adanya perbedaan di kalangan para sahabat mengenai
akhir Ramadhan kemudian ada laporan hasil rukyat ; perukyat
melaporkan dengan ungkapan:
-Demi Allah sungguh telah tampak hilal kemarin sore.
Hadits tersebut menyatakan bahwa hilal itu pasti tampak terlihat. Demikian pula dalam
hadits-hadits yang lain.
Sementara itu hilal atau bulan sabit dalam istilah astronomi disebut crescent, yakni bagian dari bulan yang
menampakkan cahayanya terlihat dari bumi ketika
sesaat setelah matahari terbenam pada hari telah terjadinya
ijtima‘ atau konjungsi. Dari tinjauan bahasa, Al-Qur‘an, As-Sunnah dan tinjauan
sains sebagaimana diutarakan di atas, Ghazalie Masroeri menyimpulkan bahwa hilal (bulan sabit) itu pasti tampak
cahayanya terlihat dari bumi di awal bulan, bukan sekedar pemikiran atau dugaan
adanya hilal. Oleh karena itu kalau tidak
tampak tidak disebut hilal.
Sehubungan dengan kriteria hilal itu mesti tampak, maka Rasulullah SAW menyuruh kaum
muslimin melakukan rukyat, yakni dengan melihat, mengamati
secara langsung (observasi) terhadap hilal itu.
Lebih jauh, alasan NU dalam penggunaan metode rukyat adalah bahwa dalam memahami,
menghayati, dan mengamalkan ad-dinul Islam, harus mendasarkan pada asas ta‟abbudiy (ketaatan). Untuk mewujudkan kesempurnaan ta‟abbudiy tersebut perlu didukung dengan
menggunakan asas ta‟aqquliy (penalaran).
Dalam konteks ini, asas ta‟abbudiy dilaksanakan dengan mengamalkan
perintah
rukyatul hilal.
Dalam buku Antologi NU diterangkan, kebijakan ulama salaf (jumhur ulama) berpendapat bahwa
penetapan (isbat) awal Ramadhan dan Syawal hanya boleh dengan cara rukyat. Jika rukyat tidak bisa berhasil karena
terhalang oleh mendung misalnya, maka digunakan cara istikmal, yakni menyempurnakan hitungan
menjadi 30 hari. Jadi, dalam konteks ini istikmal bukanlah metode tersendiri, tetapi metode lanjutan
ketika rukyat
tidak efektif.
Prosedur tersebut sebagaimana hadis Rasulullah Saw:
Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berbukalah (tidak
berpuasa lagi) karena melihatnya. Apabila kalian tidak melihatnya karena
mendung, sempurnakanlah hitungan bulan Sya‟ban sampai tiga puluh hari (HR. Bukhari
dan Muslim).
Pendapat NU berkaitan dengan masalah yang sedang kita bicarakan
ini, merupakan metode penetapan puasa dan Idul Fitri yang diikuti oleh semua
Imam Madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi‘i). Hanya saja
kalangan Imam Syafi‘i masih mengakomodasikan metode hisab dan memperbolehkannya sebagai
dasar bagi para ahli hisab itu sendiri dan mereka mempercayai kebenarannya.
Rais Amm PBNU Sahal Mahfudh pernah berpendapat bahwa kedudukan hisab merupakan metode pendamping.
Yakni sekadar digunakan untuk memperkirakan (secara teoritik) apakah rukyat dapat dilakukan atau tidak.
Dipakainya metode hisab dalam NU hanya sebagai hisab penyerasian NU dengan pendekatan rukyat yang diputuskan dalam musyawarah ulama‘ ahli hisab, ahli astronomi, dan ahli rukyat . NU beranggapan bahwa hisab penyerasian NU mempunyai tingkat
akurasi yang sangat tinggi, lebih dari 90% sesuai dengan hasil rukyatul hilal bil fi‟li. Kemudian Kementerian Agama pun
membuat semacam sistem penyerasian untuk mengatasi perbedaan yang terdapat
dalam berbagai metode hisab.
Adapun tahap-tahap penentuan awal bulan Qamariah, khususnya awal
bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah, perspektif NU,
sebagaimana ditulis KH. A. Ghazalie Masroeri adalah melalui empat tahap, yaitu:
1. Tahap pembuatan hitungan hisab
2. Penyelenggaraan rukyatul hilal
3. Berpartisipasi dalam sidang itsbat
4. Ikhbar
Ilmu falak telah berkembang di kalangan NU sejak abad 19.
Lembagalembaga pendidikan NU, seperti pesantren dan madrasah memberikan
pendidikan ilmu falak/hisab. Dari pendidikan itu lahirlah ulama-ulama ahli falak/hisab NU tersebar di seluruh Indonesia.
Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) didirikan dari tingkat
pusat sampai daerah sebagai wadah berhimpunnya ahli hisab, astronom, dan ahli rukyat;
penyelenggarakan diklat hisab dan rukyat juga digelar dari tingkat dasar sampai
tingkat mahir yang bertujuan untuk menangani masalah-masalah kefalakiyahan dan pemanfaatannya. Setiap
menjelang awal tahun Hijriyah, LFNU menyelenggarakan musyawarah ahli hisab, astronom, dan ahli rukyat untuk merumuskan hitungan hisab kalender tahun-tahun berikutnya.
Hisab
jama‟iy/kolektif/penyerasian, diumumkan
melalui almanak setiap tahun dan digunakan untuk penyelenggaraan rukyatul hilal.
Sesungguhnya rukyat/observasi terhadap benda-benda langit khususnya bulan dan
matahari telah dilakukan ribuan tahun sebelum masehi. Rukyat demi rukyat, observasi demi observasi
dilakukan kemudian dicatat dan dirumuskan, lahirlah ilmu hisab/ilmu astronomi.
Rukyat/observasi, demikian KH A Ghazalie Masroeri, adalah ibu yang melahirkan ilmu hisab dan astronomi. Tanpa rukyat/observasi tak akan ada ilmu
hisab dan astronomi. Rukyat yang diterima di Indonesia
ialah rukyat
Nasional, yakni
rukyat yang diselenggarakan di dalam
negeri dan berlaku satu wilayah hukum. Perbedaan hasil rukyat di Indonesia
dengan Negara lain seperti Saudi
Arabia tidaklah menjadi masalah.
Dengan panduan dan dukungan ilmu hisab, maka rukyat diselenggarakan di titik-titik strategis yang telah ditetapkan
(sekitar 55 tempat) di seluruh Indonesia
di bawah koordinasi LFNU di pusat dan di daerah. Pelaksana rukyat terdiri dari para ulama‘ ahli
fiqh, ahli rukyat, ahli hisab, dan bekerja sama dengan ormas Islam dan instansi terkait.
Rukyat diselenggarakan dengan menggunakan alat sesuai dengan kemajuan
teknologi dan yang tidak bertentangan dengan syar‘i. Jadi, bukan dengan mata
telanjang, melainkan sudah dibantu dengan alat yang canggih. Setelah rukyat dilakukan, kemudian hasilnya
dilaporkan kepada PBNU. Dari laporan-laporan itu sesungguhnya NU sudah dapat
mengambil keputusan tentang penentuan awal bulan, tetapi tidak segera diumumkan
melainkan dilaporkan lebih dulu ke sidang itsbat, dengan tujuan agar keputusan itu berlaku bagi
umat Islam di seluruh Indonesia.
Hal tersebut mengikuti apa yang sudah dilakukan para Sahabat Nabi.
Ketika para Sahabat berhasil melihat hilal, tidak serta-merta mereka menetapkannya dan mengumumkan kepada
masyarakat mendahului penetapan Rasulullah SAW. Hasil rukyat dilaporkan kepada Rasulullah
SAW. Selanjutnya beliau sebagai Rasul Allah maupun sebagai kepala negara
menetapkannya. Sebagaimana tersebut dalam hadits:
―Dari Abdullah bin Umar ia berkata: orang-orang berusaha melihat
hilal (melakukan rukyatulhilal) lalu saya memberitahu kepada Rasulullah SAW
bahwa sesungguhnya saya telah melihat hilal, maka beliau berpuasa dan
memerintahkan orang-orang agar supaya berpuasa. (HR Abu Dawud, Daruquthni, dan Ibnu Hibban)
Setelah setelah dikeluarkan itsbat, maka NU mengeluarkan ikhbar (pemberitahuan) tentang sikap NU
mengenai penentuan awal bulan Ramadhan, awal bulan Syawal, dan awal bulan
Dzulhijjah atas dasar rukyatul hilal yang didukung dengan hisab yang akurat sesuai dengan kriteria imkanur rukyat.
Ikhbar ini adalah hak PBNU untuk menetapkan hasil rukyat yang dikeluarkan setelah itsbat,
dan merupakan bimbingan terhadap warga NU, yang secara jam‟iyyah (kelembagaan) harus
dilaksanakan.
Sementara itu, dalam masalah matla' (pemberlakuan wilayah rukyat), apakah rukyat berlaku untuk rukyat lokal, nasional, ataukah
internasional. NU menetapkan rukyat nasional wilayatul hukmi Indonesia. Hasil rukyat hilal di suatu tempat hanya berlaku
bagi suatu negara kekuasaan hakim (pemerintah) yang menetapkan (itsbat) hasil rukyat tersebut.
Matla' berlaku hanya untuk wilayah hukum suatu negara tertentu dan tidak
berlaku bagi negara lain. Artinya, rukyat hilal berlaku untuk seluruh kawasan Nusantara berlandaskan satu kesatuan
hukum negara sehingga kesepakatan dan
keputusan pemerintah tentang awal Hijriyah khususnya awal
Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah berlaku untuk seluruh negara kesatuan RI. NU
menolak adanya rukyat internasional yang berkiblat pada hasil rukyat Arab Saudi.
2. Muhammadiyah
Jika NU lebih mengutamakan penggunaan rukyat dari pada hisab, maka
Muhammadiyah cenderung menggunakan hisab, meskipun tidak melupakan metode rukyat. Munir Mulkhan menulis, bahwa
Muhammadiyah tetap menggunakan metode rukyat. Namun demikian berdasarkan perkembangan iptek dan pola kehidpan
masyarakat maka pelaksanaan ru‘yat dilakukan dengan
menggunakan hisab.
Dalam Muktamar Muhammadiyah di Makassar tanggal 1–7 Mei 1932,
salah satu butir keputusannya: “As-Shaumu wal fithru bir ru‟yati wala mani‟a bil hisab” (Berpuasa dan berbuka [berhari raya] dengan rukyat dan tidak ada halangan dengan hisab‖). Sementara itu dalam Muktamar Tarjih XXVI di Padang tahun 2003
tentang Hisab
dan Rukyat
diambil kesimoulan bahwa:
a). Hisab mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama dengan rukyat sebagai pedoman penetapan awal
bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah.
b). Hisab sebagaimana tersebut pada poin satu yang digunakan oleh Majelis
Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah ialah Hisab Hakiki dengan kriteria wujudul hilal.
c). Matlak yang digunakan adalah matlak yang didasarkan pada wilayatul hukmi (Indonesia).
d). Apabila garis batas wujudul hilal pada awal bulan Qamariyah tersebut membelah wilayah Indonesia maka
kewenangan menetapkan awal bulan tersebut diserahkan kepada Kebijakan Pimpinan
Pusat Muhammadiyah. Selain hal tersebut di atas Tarjih dalam HPT menjelaskan
sebagaimanana uraian berikut:
Berpuasa dan ‗Ied Fitrah itu dengan rukyat dan tidak berhalangan dengan hisab. Dalil-dalil yang digunakan
sebagai dasar adalah sebagai berikut:
Firman Allah:
Artinya:
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (Q.S. Yunus: 5)
Juga Firman Allah:
Artinya:
"Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan
malampun tidak dapat
mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis
edarnya"
(Q.S. Yaasiin :40).
Artinya:
"Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan" (Q.S. Ar-Rahmaan: 5).
Hadis Nabi Muhammad Saw:
Berpuasalah karena melihat tanggal dan berbukalah karena
melihatnya. Maka
bilamana tidak terlihat olehmu, maka sempurnakanlah bilangan sya‟ban tiga puluh hari. (HR. Bukhari).
Juga hadis lain yang artinya:
"Dari Kuraib (diriwayatkan bahwa) sesunggguhnya Ummu Fadhl
binti al-Harits mengutusnya menemui Mu'awiyah di negeri Syam. Ia berkata: Saya
tiba di negeri Syam dan melaksanakan keinginannya. Dan masuklah bulan Ramadhan
sementara saya berada di negeri Syam. Saya melihat hilal pada malam hari
Jum'at, selanjutnya saya kembali ke Madinah pada akhir bulan Ramadaan. Lalu
Abdullah bin Abbas r.a. bertanya kepada saya dan menyebut tentang hilal. Ia bertanya:
Kapan kalian melihat hilal? Saya menjawab : Kami melihat hilal pada malam hari
Jum'at. Ia bertanya lagi: Apakah kamu sendiri yang melihatnya ? maka Jawab
Kuraib, benar, dan orang yang lain juga melihatnya. Karenanya Mu'awiyah dan
orang-orang disana berpuasa. Lalu Abdullah ibn Abbas berkata: Tetapi kami
melihat hilal pada malam hari Sabtu, karenanya kami akan terus berpuasa hingga
30 hari (istikmal) atau kami melihat hilal sendiri. Saya (Kuraib) bertanya:
Apakah kamu (Abdullah bin Abbas) tidak cukup mengikuti rukyatnya Mu'awiyah (di
Syam) dan puasanya. Abdullah bin Abbas menjawab: Tidak, demikianlah yang
Rasulullah saw. perintahkan kepada kami" (H.R. Muslim).
Selanjutnya, Tarjih Muhammadiyah menyatakan apabila Ahli Hisab menetapkan bahwa bulan tampak (tanggal)
atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada mu‘tabar, maka
Majlis Tarjih memutuskan
bahwa rukyatlah
yang mu‟tabar.
Hal ini di dasarkan hadis yang artinya: ―Menukil hadis dari Abu
Hurairah r.a. yang berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Berpuasalah karena kamu
melihat tanggal dan berbukalah
(berlebaranlah) karena kamu melihat tanggal, bila kamu tertutup oleh mendung, maka
sempunakanlah bilangan bulan Sya‟ban 30 hari (HR. Bukhari dan Muslim)
Ismail Thaib, dalam Majalah Suara Muhammadiyah pernah menulis
bahwa Putusan Muktamar Muhammadiyah di Makassar sebagaimana disebutkan di muka,
yakni “As-Shaumu
wal fithru bir ru‟yati wala mani‟a bil hisab”
( Berpuasa dan berbuka [berhari
raya] dengan rukyat dan tidak ada halangan dengan hisab ) merupakan putusan yang bijaksana. Namun demikian, tidak
dipungkiri bahwa selama ini Muhammadiyah cenderung mengedepankan metode hisab dari pada rukyat. Ismail secara rinci mencoba
menjelaskan kembali masalah hisab sebagai metode yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam penentuan
awal Ramadhan, dan jatuhnya Idul Fitri dan Idul Adha, secara lebih mendalam
dilihat dari sudut pandang syariat Islam. Menurutnya, perintah Nabi Saw dalam
sabdanya yang artinya: ―Berpuasalah kamu karena melihat bulan dan berbukalah
(berhari raya) kamu karena melihat bulan. mesti ditafsirkan tidak sempit. Bahwa
perintah Nabi itu dan Hadits-hadits lain yang semakna dengan itu masih bersifat
lepas (mutlak) belum dikaitkan dengan illat. Oleh karenanya, demikian Ismail, apabila ada nash (Hadits) lain
yang memautkan perintah itu dengan suatu illat, maka ketika itu persoalannya menjadi lain,
menjadi berbeda dan illat itu ada pengaruhnya dalam pemahaman Hadits tersebut dan hukum
berjalan sesuai dengan illat itu dalam penjabaran (tathbiq) atau operasionalnya. Penggunaan metode hisab oleh Muhammadiyah didasarkan
pada alasan, salah satunya adalah Hadits Nabi sebagaimana tersebut di atas,
bukanlah satu satunya hadits dalam masalah hilal, tetapi masih ada lagi hadits lain yang lebih
jelas menjelaskan illat-nya, yaitu hadits riwayat Muslim dan lain-lainnya, di mana Nabi
bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya kita ummat yang ummi (buta aksara) tidak bisa
menulis dan tidak bisa menghitung (hisab), bulan itu begini dan begini”
Hadits di atas menurut Ismail, dianggap pokok dalam masalah hisab, karena seakan-akan Rasulullah
mengatakan bahwa berpegang kepada rukyat lantaran kebanyakan umat Islam di masa beliau buta aksara, belum
mengenal ilmu hisab.
Di dalam sebuah buku tentang Pedoman Hisab Muhammadiyah, disebutkan bahwa dalam konteks
ke-Indonesiaan penggunaan hisab lebih memungkinkan dan lebih praktis karena dapat menentukan
tanggal jauh sebelumnya dan dapat menentukan masa depan secara lebih pasti,
sehingga persiapan-persiapan dapat
dilakukan secara lebih tepat perhitungan dan jauh sebelumnya.
Perhatian dan orientasi ke depan adalah salah satu prinsip ajaran Islam dan
sekaligus cermin sikap modern. Selain itu penggunaan hisab ini juga mencerminkan
kepercayaan
Muhammadiyah kepada ilmu pengetahuan, yang juga merupakan prinsip
ajaran
Islam dan sekaligus ciri kemodernan.
Sementara itu, bila garis batas wujudul hilal membelah dua wilayah kesatuan
Republik Indonesia
yang "besarnya hampir sama", maka Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan
menggunakan kriteria wujudul hilal nasional dalam menentukan awal bulan Qamariah, khususnya awal
Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Kriteria wujudul hilal nasional merupakan teori di mana
awal bulan Qamariah dimulai apabila setelah terjadi ijtimak (conjunction) matahari tenggelam terlebih
dahulu dibandingkan bulan (moonset after sunset); pada saat itu posisi bulan di atas ufuk di seluruh wilayah Indonesia.
Artinya pada saat matahari terbenam (sunset) secara filosofis hilal sudah ada di seluruh wilayah Indonesia.
Namun jika garis batas wujudul hilal membelah dua wilayah kesatuan Republik Indonesia dan sebagian besar sudah
wujud maka diberlakukan konsep matla‟ sebagaimana
yang tertuang dalam putusan Munas Tarjih di Makassar.
G. Tawasul
Tawasul adalah berdoa kepada Allah dengan melalui wasilah (perantara). Dalam arti lain
tawasul merupakan sesuatu yang dijadikan perantara untuk mendekatkan diri
(tawajjuh) kepada Allah swt guna mencapai sesuatu yang diarapkan dari-Nya.
Bagi warga NU berdoa dengan cara bertawasul (melalui perantara)
bukan lagi hal yang dianggap aneh. Sementara kaum Muhammadiyah tidak sependapat
dengan cara berdoa dengan bertawasul.
Berdoa dengan wasilah itu sendiri ada beberapa macam, antara lain
bertawasul dengan amal sholih, dengan asma‟ul husna, orang sholih yang masih hidup,
dan bertawasul dengan Nabi dan wali yang sudah meninggal.
Bagi warga NU bertawasul dengan hal-hal di atas, termasuk dengan
Nabi dan wali yang sudah meninggal hukumnya adalah sunnah. Sementara bagi
Muhammadiyah, bertawasul yang dibolehkan hanyalah tawasul dengan dengan
asma‘ul husna, orang sholih yang masih hidup, sementara tawasul
dengan orang
yang sudah meninggal tidak boleh dilakukan, bahasa ekstrimnya
adalah haram,
karena bisa mengarah kepada perbuatan syirik.
Muhammadiyah tidak secara khusus membahas masalah tawasul dalam
HPT. Dalam HPT hanya terdapat tuntunan cara berdoa, dan tuntunan ziarah kubur
yang bisa dijadikan rujukan, bagaimana Muhammadiyah menolak berdoa dengan
menggunakan wasilah orang sholih yang sudah meninggal. Sementara itu, dalam
sebuah situs resmi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bontang, terdapat pula artikel
tanya jawab masalah agama yang mengupas pendapat yang tidak membenarkan
tawasul.
Lebih jauh tentang tawasul, marilah kita simak pendapat serta dasar-dasar
mensunahkan dan melarang bertawasul dari NU dan Muhammadiyah. Mungkin
lebih tepat jika mulai dari pendapat yang mensunnahkan, baru
setelah itu menuju ke pendapat yang menolak dan melarang.
1. Nahdhatul Ulama
KH. A. Nuril Huda, yang pernah menjabat sebagai Ketua PP Lembaga Dakwah
Nahdlatul Ulama (LDNU), dalam sebuah artikelnya menulis bahwa tawassul adalah mendekatkan
diri kepada Allah atau berdo‘a kepada Allah dengan mempergunakan wasilah, atau
mendekatkan diri dengan bantuan perantara. Pernyataan demikan dapat dilihat
dalam surat
Al-Maidah ayat 35, Allah berfirman :
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah
jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya,
supaya kamu mendapat keberuntungan. (al-Maidah: 35)
Dalam buku Antologi NU diterangkan bahwa, bertawasul dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1. Melalui tindakan (iman dan amal sholeh). Ulama madzhab Hambali
menyebtukan bahwa bertawasul dengan iman, ketaatan dan amal saleh, merupakan
salah satu bentuk bertawasul dengan shiratal mustaqim, yaitu mendekatkan diri
kepada Allah swt dengan apa yang dibuat oleh Nabi Muhammad saw.
2. Melalui doa. Antara lain dengan menyebut amal saleh yang pernah
dilakukan. Tuuannya berwasilah dalam berdoa agar doa yang disampaiakan itu
diterima oleh Allah swt. Juhur ulama menyepakati cara tersebut sebagaimana
hadist diriwayatkan bukhari dan Muslim tentang tiga orang yangt erkurung di
dalam goa. Untuk bisa keluar dari goa mereka berdoa sambil bertawasul dengan
amal yang pernah diperbuatnya,
3. Malaui dzat, sifat-sifat dan nama-nama Allah swt. (asmaul
Husna). Sebagaimana firman Allah:
Artinya:
Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya
dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. Al-A‘raf: 180)
4. Dengan syafaat Nabi Muhamamd saw di akhirat nanti. Ulama
ahlussunah waljamaah berpenapat bahwa semua kaum muslimin akan mendapat syafaat
dari rasulullah. Termasuk mereka yang di dunia melakukan dosa besar.
5. Melalui panggilan. Tawasul dalam bentuk ini dilakukan dengan
cara memanggil orang yang paling dicintai. Menurut Sayid Muhammadi Malik
al-Maliki, bertawasul seperti ini hukumnya boleh. Berdsarkan
beberapa riwayat, antara lain: ―Mujahid meriwayatkan bahwa dia melihat
seseorang sakit kakinya di dekat Ibnu Abbas. Lantas Abbas berkata: ―Sebutlah
nama seseorang yang engkau cintai. Orang sakit tersebut lantas menyebut nama
Muhamamd saw. Dengan segera tampak rasa sakit dan lemah kakinya sembuh.
Dalam keterangan lain, disebutkan bahwa bertawasul juga bisa
dilakukan dengan orang yang sudah meninggal. Orang yang sudah meninggal yang
dijadikan wasilah
biasanya adalah
para Nabi, wali, dan orang-orang yang dipercaya kesalehannya. Kaum NU sering
melakukan tawasul dengan berziarah ke makammakam para wali.
Dalil dibolehkannya bertawasul dengan orang yang sudah meninggal
adalah firman Allah surat
an-Nisa ayat 64:
Artinya:
Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati
dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun
untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang..(QS.An-Nisa‘
:64).
Sebagaimana tersebut dalam Risalah Amaliyah Nahdhiyin (PCNU Kota
Malang), bahwa ayat di atas adalah bersifat umum ('amm) mencakup pengertian
ketika beliau masih hidup dan ketika sesudah wafat dan
berpindahnya ke alam
barzah. Imam Ibnu Al-Qoyyim dalam kitab Zadul Ma'ad menyebutkan:
"Dari Abu Sa'id al-Khudry, ia berkata, Rasulullah Saw.
bersabda: "Seseorang dari rumahnya hendak sholat dan membaca do'a: Kecuali
Allah menugaskan 70.000 malaikat agar memohonkan ampun untuk orang tersebut,
dan Allah menatap orang itu hingga selesai sholat”. (HR. Ibnu Majjah).
Dari Imam al-Baihaqi, Ibnu As-Sunni dan al-Hafidz Abu Nu'aim
meriwayatkan bahwa do'a Rasulullah ketika hendak keluar menunaikan shalat
adalah:
Para ulama; berkata, "Ini
adalah tawasul yang jelas dengan semua hamba beriman yang hidup atau yang telah
mati. Rasulullah mengajarkan kepada sahabat dan memerintahkan mebaca do'a ini.
Dan semua orang salaf dan sekarang selalu berdo'a dengan do'a ini ketika hendak
pergi sholat." Abu Nu'aimah dalam kitab al-Ma'rifah, at-Tabrani dan Ibnu
Majjah mentakhrij hadits:
Dari Anas bin Malik ra, ia berkata, “ketika Fatimah binti Asad
ibunda Ali bin Abi Thalib ra meninggal, maka sesunnguhnya Nabi SAW berbaring
diatas kuburannya dan bersabda: “Allah adalah Dzat yang Menghidupkan dan
mematikan. Dia adalahMaha Hidup, tidak mati. Ampunilah ibuku Fatimah binti
Asad, ajarilah hujjah (jawaban) pertanyaan kubur dan lapangkanlah kuburannya
dengan hak Nabi-Mu dan nabi-nabi serta para rasul sebelumku, sesungguhnya
Engkau Maha Penyayang.”
Maka hendaklah diperhatikan sabda beliau yang berbunyi: “Dengan hak para nabi
sebelumku”.
Dalam hadis lain juga disebutkan: Ketika Nabi Adam terpeleset
melakukan kesalahan, maka berkata, “Hai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan
haq Muhammad, Engkau pasti mengampuni kesalahanku. Allah berfirman: “Bagaimana
kamu mengetahui Muhammad, padahal belum Aku ciptakan?” Nabi Adam berkata: “Hai
Tuhanku, karena Engkau ketika menciptakanku dengan tangan kekuasaan-MU, aku
mengangkat kepalaku kemudian aku melihat ke atas tiang-tiang arsy tertulis La
ilaaha illa Allah. Kemudian aku mengerti, sesungguhnya Engkau tidak
menyandarkan ke nama-MU, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai.”
Kemudian Allah berfirman: “benar engkau hai Adam.Muhammad adalah
makhluk
yang paing Aku cintai. Apabila kamu memohon kepada-Ku dengan hak
Muhammad, maka Aku mengampunimu, dan andaikata tidak karenaMuhammad maka Aku
tidak menciptakanmu.” (HR. al-Hakim, at-Thobroni dan al-Baihaqi).
Dari hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa Nabi Adam a.s
adalah orang yang mula-mula tawasul dengan Nabi Muhammad SAW.
Pertanyaan yang sering diajukan adalah, Jika tawasul dengan
orang-orang yang telah mati itu boleh, mengapa kholifah Umar din al-Khottob
tawasul dengan
al-Abbas, tidak dengan Nabi SAW. Diketahui Sahabat Umar bin
Khattab r.a memang pernah bertawasul kepada Abbas Ibnu Abdil Murhalib ketika
berdoa memohon hujan.
Dari Anas bin Malik r.a, beliau berkata, “Apabila terjadi kemarau
sahabat Umar Ibn Khaththab bertawasul kepada Abbas Ibnu Abdil Murhalib kemudian
berdoa, “Ya Allah, kami pernah berdoa dan bertawasul kepada-Mu dengan Nabi saw,
maka engkau turunkan hujan. Dan sekarang kami bertawasul dengabn paman Nabi
kami, maka turunkanlah hujan. Anas berkata, “Maka turunlah hujan kepada
kami.”(HR. Bukhari)
Berkaitan dengan hadis di atas, para ulama‘ telah menjelaskan:
―Adapun tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas ra bukanlah dalil larangan
tawasul dengan orang yang telah meninggal dunia. Tawasul Umar bin al-Khottob
dengan al- Abbas tidak dengan Nabi SAW itu untuk menjelaskan kepada orang-orang
bahwa tawasul dengan selain itu boleh, tidak berdosa. Tentang mengapa dengan
al-Abbas bukan dengan sahabat-sahabat lain, adalah untuk memperlihatkan
kemuliaan ahli bait Rasulullah SAW.
Bertawasul kepada orang yang sudah meninggal juga pernah dilakukan
pada masa Sahabat. Dalam Risalah Amaliyah Nahdhiyin disebutkan bahwa para
sahabat selalu dan terbiasa bertawasul dengan rasulullah SAW setelah beliau
wafat. Seperti yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi dan Ibnu abi Syaibah dengan
sanad yang shohih:
“Sesungguhnya orang-orang pada masa kholifah Umaar banal-Khottob
ra tertimpa paceklik karena kekurangan hujan. Kemudian Bilal bin al-Harits ra
datang ke kuburan Rasulullah SAW dan berkata: “Ya rasulullah, mintakanlah
hujjah untuk umatmu karena mereka telah binasa.” Kemudian ketika Bilal tidur
didatangi oleh Rasulullah SAW dan berkata: datanglah kepada Umar dan sampaikan
salamku kepadanya dan beritahukan kepada mereka, bahwa mereka akan dituruni
hujan. Bilal lalu datang kepada kholifah Umar dan menyampaikan berita tersebut.
Umar menangis dan orang-orang dituruni hujan.”
Karena itu, demikian KH. A Nuril Huda, berdo‘a dengan memakai
wasilah orang-orang yang dekat dengan Allah di atas tidak disalahkan, artinya
telah disepakati kebolehannya. Bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada
Allah, senyatanya tetap memohon kepada Allah SWT karena Allah-lah tempat
meminta dan harus diyakini bahwa sesungguhnya: ―Tidak ada yang bisa
mencegah
terhadap apa yang Engkau (Allah) berikan, dan tidak ada yang bisa
memberi sesuatu apabila Engkau (Allah) mencegahnya.
KH A Nuril Huda, dalam tulisannya menguatkan pendapatnya tentang
bolehnya bertawasul dengan orang yang sudah mati. Sebab ketika seseorang mati
maka yang rusak dan hancur adalah badannya atau jasadnya saja, sedang rohnya
tetap hidup dan tidak mati. Orang yang sudah mati ada di alam barzakh yang mana
mereka telah putus segala amal perbuatan mereka untuk diri mereka sendiri.
Dalam kitab Shahih Muslim, terdapat sebuah hadist yang artinya:
―Apabila manusia telah mati maka terputuslah darinya amalnya,
kecuali tiga; kecuali dari shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfa‟at atau anak shaleh yang
mendo‟akan. (HR Muslim)
Hadits semacam ini juga termaktub dalam Sunan Tirmidzi juz III,
dalam Sunan Abu Dawud juz III dan dalam Sunanu Nasa‘i juz VI. Hadits di atas
menjadi dasar untuk menguatkan pendapat NU tentang bolehnya tawasul, sebab
apabila
manusia telah meninggal dunia itu putus segala amalnya untuk
dirinya sendiri,
tetapi untuk orang lain, misalnya ahli kubur mendo‘akan orang yang
di dunia tidak ada keterangan yang melarang.
Ketika melintasi kubur kita disunnahkan untuk mengucapkan salam
kepada ahli kubur, sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah. Menurut Nuri,
ahli kubur juga akan menjawab salam yang kita ucapkan. Dengan demikian,
lanjutnya, mendo‘akan orang tua, kemudian orang tua di alam barzah mendo‘akan
kepada yang berdo‘a agar selamat, hal ini tidak ada larangan dalam agama. Baik
orang yang berdo‘a maupun ahli kubur seluruhnya memohon kepada Allah. Perlu
diingat bahwa bagi yang berdo‘a di dunia, itu tidak meminta kepada ahli kubur,
karena diyakini bahwa mereka tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak bisa
memberikan apa-apa.
Perlu diketahui juga, bahwa dalam NU ada tradisi yang disebut mahallul qiyam, yakni, saatnya berdiri ketika
dibacakan shalawat:
Wahai Nabi salam kepadamu, Wahai Rasul salam kepadamu Berkaitan dengan tawasul KH
Musthofa Agil Siradj, pernah mengatakan bahwa
dalam kalimat‖Wahai Nabi salam
kepadamu, Wahai Rasul salam kepadamu ;
yang diucapkan, seakan-akan Nabi
hadir pada saat itu. Inilah urgensi dari ajaran tawashul kepada Nabi, atau memanjatkan
doa dengan perantaraan Rasulullah saw.
Pada saat membaca doa tahiyat akhir dalam setiap shalat, kita juga
selalu Mengucapkan Salam kepada Engkau
wahai Nabi KH Musthofa Agil Siradj menjelaskan bahwa redaksi dari doa
tersebut diharuskan memakai kata ganti ( مَ
)atau kata ganti orang kedua atau dlamir mukhatab, yang berarti kamu
atau anda. Kita tidak menyebut nabi dengan dlamir ghaib ( هُ ) atau dia, atau beliau. Kita menyebut Nabi dengan engkau. Ini
artinya bahwa pada saat kita berdoa seakan-akan Nabi Muhammad SAW
hadir di hadapan kita.
Maka pada setiap doa, setelah kita berucap Alhamdulillah segala puji bagi Allah, kita teruskan dengan membaca berbagai shalawat. Baru
setelah itu kita sampai pada inti dari doa kita. Ini artinya saat berdoa,
saat menyembah Allah harus ada makhluk Allah bernama
Muhammad SAW, demikian pendapat KH Musthofa Agil Siradj.
Adapun
praktek pelaksanaan tawassul dengan dzat-dzat yang mulia, seperti Nabi SAW,
para Nabi dan hamba-hamba Allah itu ada tiga macam, yaitu:
1.
Memohon (berdoa) kepada Allah SWT.dengan meminta bantuan mereka.
Contoh:
“Ya
Allah, saya memohon kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad atau dengan hak beliau
atas Kamu atau supaya saya menghadap kepada-Mu dengan Nabi SAW untuk…”
2. Meminta kepada orang yang
dijadikan wasilah agar ia memohon kepada Allah untuknya agar terpenuhi
hajat-hajatnya seperti:
“Ya Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah SWT agar Dia menurunkan
hujan atau……”
3.
Meminta sesuatu yang dibutuhkan kepada orang yang dijadikan wasilah, dan
meyakininya hanya sebagai sebab Allah memenuhi permintaannya karena pertolongan
orang yng dijadikan wasilah dan karena doanya pula. Cara ketiga ini sebenarnya
sama dengan cara kedua.
Tiga
macam cara tawasul ini semua memiliki
dasar hukum yang jelas.
Dalil tawasul dengan cara yang pertama adalah hadits-hadits Nabi SAW
antara lain:
“Dari autsman bin Hunaif ra.sesungguhnya seorang laki-laki tuna
netra datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Ya Rasululah, berdo‟alah kepada Allah agar
menyembuhkan saya.” Beliau bersabda: “jika engkau mau, berdoalah.
Dan jika engkau mau bersabarlah (dengan kebutaan) karena hal itu (sabar) lebih
baik untuk kamu.” Laki-laki itu berkata: “berdo‟alah untuk saya, karena
mataku benar-benar memberatkan merepotkan)ku.” Kemudian Nabi SAW memerintahkan
si laki-laki itu agar berwudlu, shalat dua raka‟at, lalu berdoa seperti
doa dalam hadits yang arti doa itu adalah: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon
kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad, nabi pembawa
rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku melalui kamu menghadap kepada Tuhanku
dalam urusan hajatku ini, agar hajat itu dikabulkan kepadaku. Ya Allah,
tolonglah beliau dalam urusanku.”
Si laki-laki itu melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW
kemudian pulang dalam keadaan dapat melihat.”
Hadist
tersebut, bagi kalanggan yang membolehkan tawasul, dianggap jelas bahwa di sana Nabi SAW tidak
berdoa sendiri untuk kesembuhan mata si tuna netra, tetapi beliau mengajarkan
kepadanya cara berdoa dan menghadap kepada Allah melalui kedudukan diri beliau
dan memohon kepada Allah agar meminta bantuan dengan beliau. Dalam hal ini, ada
dalil yang jelas tentang kesunahan tawasul dan meminta bantuan dengan dzat Nabi
Muhammad SAW. Ajaran tawasul dalam doa yang disebutkan pada hadits tersebut
tidak khusus untuk laki-laki tuna netra itu saja, tetapi umum untuk umatnya
seluruhnya, baik semasa beliau masih hidup atau sesudah wafat. Pemahaman rawi
dalam menghadapi hadits itu dapat dijadikan hujjah sebagaimana diuraikan dalam
ilmu ushul. Dengankan dalil tawasul dengan cara kedua antara lain hadist dari Anas ra.ia berkata:
Ketika Nabi SAW berkhutbah pada hari Jum‟at, tiba-tiba ada
seorang laki-laki masuk dari pintu masjid dan langsung menghadap kepada Nabi
SAW seraya berteriak: “Hai Rasulullah, harta benda telah binasa dan jalan-jalan
telah putus, maka berdoalah kepada Allah supaya menghujani kami. Rasulullah SAW
lalu mengangkat tangan dan berdo‟a” Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami tiga kali. Anas berkata:
“Demi Allah kami melihat awan di langit dan kami hari itu dituruni hujan begitu
juga hari berikutnya. Kemudian si laki-laki itu atau orang lainnya datang dan
berkata: “Ya Rasulullah rumah-rumah ambruk dan jalan-jalan terputus. “Kemudian
Beliau berdoa: “ Allah, turunkanlah hujan disekitar kita bukan diatas kita,”
kemudian awan terbelah dan kami keluar berjalan di bawah sinar matahari.
Di
dalam hadits tersebut ada petunjuk atau dalil, bahwa setiap orang disamping
boleh berdoa (memohon) kepada Allah secara langsung, boleh juga boleh juga
mengunakan perantara orang-orang yang dicintai Allah yang dijadikan oleh- Nya
sebagai sebab terpenuhinya hajat hamba-hambanya. Disamping itu, karena manusia
ketika melihat dirinya masih berlepotan dosa yang membuatnya jauh dari Allah
yang tentu saja merasa layak ditolak permohonannya. Sebab itu, ia menghadap
kepada Allah melaui orang-orang yang dicintai-Nya, ia memohon kepada Allah
dengan kedudukan dan kemuliaan para kekasih-Nya, agar Allah mengabulkan
hajatnya karena hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya yang mereka itu tidak tahu
apa-apa. kecuali
ta‘at kepada-Nya.
Sedangkan
dalil dati cara tawasul yang ketiga antara lain hadis dari Rabi‟ahbin Malik al-Aslami
ra.ia berkata Nabi SAW bersabda kepadaku: “Mintalah apa saja yang kamu
inginkan.” Saya berkata: “Saya memohon kepada- Mu dapat bersamamu di surga.”
Beliau bersabda: “Selain itu?” Saya berkata: “Hanya itu.” kemudian
beliau bersabda: “Bantulah saya untuk memenuhi keinginanmu dengan memperbanyak
sujud.” (HR. Imam Muslim).
Jadi,
menurut kalangan NU, tawasul dengan orang mati tidak jadi masalah, malah justru
dianjurkan, lebih-lebih tawasul kepada Nabi Muhammad saw. NU berpendapat bahwa
tidak ada unsur-unsur syirik dalam bertawassul, karena pada saat bertawassul
dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT seperti para Nabi, para Rasul
dan para shalihin, pada hakekatnya kita tidak bertawassul dengan dzat mereka,
tetapi bertawassul dengan amal perbuatan mereka yang shaleh. Karena memang,
tidak mungkin kita bertawassul dengan orang-orang yang ahli ma‘siat, pendosa yang menjauhkan
diri dari Allah, dan juga tidak bertawassul
dengan pohon, batu, gunung dan lain-lain.
2. Muhammadiyah
Sebagaimana
telah penulis sebutkan di awal bab ini, bahwa dalam HPT Muhammadiyah tidak
terdapat keterangan yang rinci mengenai masalah tawasul.
Namun
demikian, penulis mengambil kesimpulan bahwa Muhammadiyah tidak sependapat
dengan berdoa dengan cara bertawasul (melalui wasilah atau perantara). Hal ini
bisa dilihat dari apa yang terjadi di dalam warga Muhammadiyah, yang tidak
memiliki tradisi bertawasul sebagaimana di NU, seperti pembacaan kitab
barzanji, haul, sholawatan berjamaah, atau pun tradisi ziarah Walisanga. Lebih
jelas lagi, ketika penulis mendapati sebuah artikel di situs
Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Bontang. Sebuah artikel yang menolak cara berdoa dengan
bertawasul, khususnya tawasul kepada orang yang sudah meninggal.
Tuntunan
cara berdoa, sebagaimana dimuat dalam kitab HPT Muhammadiyah hanya menyebutkan
bahwa doa itu diawali dengan memuji Allah, shalawat Nabi lalu menyampaikan isi
doa, kemudian diakhiri dengan membaca hamdalah. Hal ini didasarkan pada hadis
riwayat Abu dawud,, at- Tirmidzy, al Hakim, Ibnu Hibban, dan al0 Baihaqy serta surat Yunus ayat 9-10.
Nukilah hadis dan ayat tersebut di atas ialah sebagai berikut:
Allah
berfirman:
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal
saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka Karena keimanannya, di bawah
mereka mengalir sungai- sungai di dalam syurga yang penuh kenikmatan. 10. Do'a,
mereka di dalamnya ialah: "Subhanakallahumma", dan salam penghormatan
mereka ialah: "Salam". dan penutup doa mereka ialah:
"Alhamdulilaahi Rabbil 'aalamin". (Q.S Yunus: 9-10)
Rasulullah
saw bersabda, yanga artinya:
Apabila berdoa salah seorang di antaramu, mulailah dengan memuji
Allah, kemudian membaca shalawat Nabi saw kemudian barulah memohon apa yang
dikehendaki (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzy,
al Hakim, Ibnu Hibban, dan al- Baihaqy)
Selain
dari pada keterangan tentang cara berdoa, penulis juga mendapati penolakan
Muhammadiyah terdapap cara doa dengan bertawasul. Dalam kitab HPT Muhammmadiyah
menjelaskan masalah ziarah kubur, tarjih menyatakan: dan janganlah mengerjakan
di situ sesuatu yang tiada diiszinkan oleh Allah dan Rasul- Nya, seperti:
meminta-minta pada mayat dan membuatnya perantaraan hubungan kepada Allah.
Hal
tersebut di dasarkan pada firman Allah surat
Yunus ayat 106, sebagai berikut:
Artinya:
Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat
dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu
berbuat (yang demikian), itu, Maka Sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk
orang-orang yang zalim".
Juga
firman Allah surat
az-zumar ayat tentang tindakan orang musyrik Mekah, ketika menyembah kepada
berhala-berhala, mereka mengatakan bahwa berhala itu untuk mendekatkan
kepada-Nya sedekat-dekatnya. Sebagaimana firman Allah:
Artinya:
Ingatlah, Hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari
syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata):
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan
di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah
tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.(Q.S Az-Zumar: 3)
Jelaslah
sekarang, bahwa Muhammadiyah tidak menyepakati adanya tawasul kepada orang yang
sudah meninggal (mayat). Salah satu dalil aqli yang digunakan adalah, bahwa
orang yang sudah meninggal sudah tidak bisa berbuat apa-apa, dan tidak bisa
mendengar.
Lalu
bagaimana dengan tawassul kepada Nabi Saw?
Dalam
kumpulan Fatwa dan Berbagai Artikel dari Syaikh Ibnu Baz, sebagaimana terdapat
di situs Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bontang, disebutkan bahwa bertawasul
kepada Nabi saw bila hal itu dilakukan dengan cara mengikuti beliau, mencintai,
taat terhadap perintah dan meninggalkan laranganlarangan beliau serta ikhlas
semata karena Allah di dalam beribadah, maka inilah yang disyariatkan oleh
Islam dan inilah dien Allah yang dengannya para Nabi diutus, yang merupakan
kewajiban bagi setiap mukallaf (orang yang dibebani dengan syariat) serta
merupakan sarana dalam mencapai kebahagian di dunia dan akhirat.
Sementara
itu menjadikan Nabi sebagai perantara doa kita, yakni bertawassul dengan cara
meminta kepada beliau, beristighatsah kepadanya, memohon pertolongan kepadanya
untuk mengatasi musuh-musuh dan memohon kesembuhan kepadanya, menurut Saikh
Ibnu Baz adalah termasuk syirik yang paling besar. Dari pendapat tersebut didapati
pengertian bahwa berdoa dengan cara bertawasul kepada Nabi adalah haram.
Demikian pula berdaa dengan cara bertawasul kepada selain Nabi Muhammad saw,
seperti Nabi-Nabi yang lain, para wali, jin, malaikat.
Lebih
jauh Saikh Ibnu Baz menegaskan bahwa disamping tawasul dengan cara di atas,
juga tidak dibenarkan bertawasul dengan melalui jah (kedudukan) Nabi saw, hak atau sosok beliau,
sebagai contoh ucapan seseorang, ―Aku memohon
kepadamu, Ya Allah, melaui nabi-Mu, atau melalui jah nabi-Mu, hak nabi-Mu, atau
jah para nabi, atau hak para nabi, atau jah para wali dan orang-orang shalih, dan semisalnya.
Dasar
pengharaman itu ialah karena, menurutnya, Allah swt tidak pernah mensyariatkan
hal itu sementara masalah ibadah bersifat tauqifiyah (bersumber kepada dalil-penj)
sehingga tidak boleh melakukan salah satu darinya kecuali bila terdapat dalil
yang melegitimasinya dari syariat yang suci ini.
Bertawasul
itu boleh, demikian Saikh Ibnu Baz, bila kepada orang-orang yang masih hidup,
seperti ucapan anda kepada saudara anda, bapak anda atau orang yang dianggap baik, ―Berdoalah
kpada Allah untukku agar mrnyembuhkan penyakitku!, atau ―agar
memulihkan penglihatanku‘. ―menganugrahiku keturunan, dan semisalnya.
Kebolehan akan hal ini adalah berdasarkan ijma‘
(Kesepakatan) Para ulama. Rujukan tentang
tawasul yang dibolehkan dan diharamkan yang digunakan oleh Saikh Ibnu Baz,
antara lain kitab Syaikul Islam, Abu Al-Abbas Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang berjudul ―al-Qa‘idah
al-Jalilah Fi at-Tawassul wa al-wasilah.
H. Tahlil
Dalam bahasa Arab, Tahlil berarti menyebut kalimah ―syahadah yaitu ―La ilaha illa Allah ( ا اله ). Dalam konteks Indonesia,
tahlil menjadi sebuah istilah untuk
menyebut suatu rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam rangka mendoakan keluarga yang sudah
meninggal dunia.
Kegiatan tahlil sering juga disebut dengan istilah tahlilan. Tahlilan, sudah menjadi
amaliah warga NU sejak dulu hingga sekarang. Sementara kalangan Muhammadiyah
tidak membenarkan diselenggarakannya tahlilan.
Bacaan-bacaan doa serta urutan dalam acara tahlil juga sudah
tersusun sedemikian rupa, dan dihafal oleh warga NU. Begitu pula tentang
bagaimana tradisi pelaksanaannya, di mana keluarga sedang tertimpa musibah
kematian (shohibul mushibah) memberikan sedekah makanan bagi tamu yang diundang
untuk turut serta mendoakan.
NU menganggap bahwa acara tahlilan tidak bertentangan dengan
syariat Islam, melainkan justru sesuai dengan apa yang telah disunnahkan oleh
Rasulullah saw. Sementara Muhammadiyah menganggap bahwa acara tahlilan merupakan
sesuatu hal yang baru, tidak pernah dikerjakan dan diperintahkan rasulullah
(bid‘ah).
NU membenarkan bahwa bacaan doa, kiriman pahala dari membaca
ayatayat al-Qur‘an, dan shodaqah, bisa dikirimkan kepada orang yang sudah
meninggal, sementara Muhammadiyah berpendapat bahwa membaca al-Qur‘an, dan
bacaan
lain, serta bersodaqah yang dikirimkan kepada orang yang sudah
meninggal pahala tersebut tidak akan sampai.
Perbedaan pendapat seputar tahlil ini terjadi, dikarenakan
terjadinya penafsiran yang berbeda terhadap ayat al-Qur‘an dan hadis yang
berkaitan dengan masalah tersebut. Selain juga karena dalil yang digunakan
serta metode pengistimbathan hukumnya yang berbeda. Untuk lebih jelasnya,
baiknya langsung kita pahami bersama dasar-dasar penolakan dan penerimaan
tahlil dari NU dan Muhammadiyah.
1. Muhammadiyah
Sebagaimana sudah dikenal, bahwa ajaran agama Muhammadiyah
cenderung ingin memurnikan syariat Islam (tajdid). Islam yang menyebar luas di Indonesia,
khususnya di jawa, tidak dipungkiri merupakan perjuangan dari para pendakwah
Islam pertama, di antaranya adalah Wali Sanga. Dalam menyebarkan agama Islam,
Walisanga menggunakan pendekatan kultural, yang mana tidak membuang keseluruhan
tradisi dan budaya Hindu dan Budha, dua ajaran yang menjadi mayoritas pada masa
itu, melainkan memasukkan ajaran-ajaran Islam ke dalam tradisi dan kepercayaan
Hindu Budha. Salah satu tradisi agama Hindu, yaitu ketika ada orang yang
meninggal adalah kembalinya ruh orang yang meninggal itu ke rumahnya pada hari
pertama, ketiga, ketujuh, empat puluh, seratus, dan seterusnya. Dari tradisi
itulah kemudian muncul tradisi yang kemudian dikenal dengan tahlil.
Sebagaimana sudah pernah dibahas dalam Majalah Suara Muhammadiyah
dan dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama II yang diterbitkan Muhammadiyah,
tahlilan tidak ada sumbernya dalam ajaran Islam. Tradisi selamatan kematian 7
hari, 40 hari, 100 hari maupun 1000 hari untuk orang yang meninggal dunia,
sesungguhnya merupakan tradisi agama Hindu dan tidak ada sumbernya dari ajaran
Islam.
Muhammadiyah menganggap bahwa keberadaan tahlil pada dasarnya
tidak bisa dilepaskan dari tradisi tarekat. Ini bisa diketahui dari terdapatnya
gerak-gerak tertentu disertai pengaturan nafas untuk melafalkan bacaan tahlil
sebagai bagian
dari metode mendekatkan diri pada Allah. Dari tradisi tarekat
inilah kemudian berkembang model-model tahlil atau tahlilan di kalangan umat
Islam Indonesia.
Dalam tanya jawab masalah Agama di Suara Muhammadiyah disebutkan
macam-macam tahlil atau tahlilan. Di lingkungan Keraton terdapat tahlil rutin,
yaitu tahlil yang diselenggarakan setiap malam Jum'at dan Selasa Legi; tahlil
hajatan, yaitu tahlil yang diselenggarakan jika keraton mempunyai hajat-hajat
tertentu seperti tahlil pada saat penobatan raja, labuhan, hajat perkawinan,
kelahiran dan lainnya. Di masyarakat umum juga berkembang bentuk-bentuk tahlil
dan salah satunya adalah tahlil untuk orang yang meninggal dunia.
Muhammadiyah yang notabenenya mengaku masuk dalam kalangan para
pendukung gerakan Islam pembaharu (tajdid) yang berorientasi kepada pemurnian
ajaran Islam, sepakat memandang tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai
bid'ah yang harus ditinggalkan karena tidak ada tuntunannya dari Rasulullah.
Esensi pokok tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai perbuatan
bid'ah bukan terletak pada membaca kalimat la ilaha illallah, melainkan pada hal pokok
yang menyertai tahlil, yaitu;
1. Mengirimkan bacaan ayat-ayat al-Qur'an kepada jenazah atau
hadiah pahala kepada orang yang meninggal,
2. Bacaan tahlil yang memakai pola tertentu dan dikaitkan dengan
peristiwa tertentu.
Berikut akan kami berikan argumentasi penolakan Muhammadiyah
terhadap tahlil:
Argumentasi Pertama: Bahwa mengirim hadiah pahala untuk orang yang sudah meninggal
dunia tidak ada tuntunannya dari ayat-ayat al-Qur'an maupun hadis Rasul.
Muhammadiyah berpendapat bahwa ketika dalam suatu masalah tidak ada
tuntunannya, maka yang harus dipegangi adalah sabda Rasulullah saw, yang
artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan (agama) yang tidak
ada perintahku untuk melakukannya, maka perbuatan itu tertolak.”
[HR. Muslim dan Ahmad]
Dalam situs pdmbontang.com memuat sebuah artikel yang berjudul
―Meninggalkan Tahlilan, siapa takut?, sebuah artikel yang
bersumber dari MTAonline.
Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw ketika
masih hidup pernah mendapat musibah kematian atas orang yang dicintainya, yaitu
Khodijah. Tetapi Nabi saw tidak pernah memperingati kematian istrinya dalam
bentuk apapun apalagi dengan ritual tahlilan. Semasa Nabi hidup juga pernah ada
banyak sahabatnya dan juga pamannya yang meninggal, di antaranya Hamzah,
sisinga padang
pasir yang meninggal dalam perang Uhud. Beliau juga tidak pernah memperingati
kematian pamannya dan para sahabatnya.
Demikian pula setelah Rasulullah saw wafat, tahlilan atau
peringatan hari kematian belum ada pada masa khulafaur Rasyidin. Pada masa Abu
Bakar tidak pernah memperingati kematian Rasulullah Muhammad saw. Setelah Abu
Bakar
wafat Umar bin Khaththab sebagai kholifah juga tidak pernah
memperingati kematian Rasululah Muhammad saw dan Abu Bakar ra. Singkatnya semua
Khulafaur Rasyidin tidak pernah memperingati kematian Rasulullah saw.
Dalil aqli atas sejarah tersebut adalah, kalau Rasulullah saw
tidak pernah memperingati kematian, para sahabat semuanya tidak pernah ada yang
memperingati kematian, berarti peringatan kematian adalah bukan termasuk ajaran
Islam, sebab yang menjadi panutan umat Islam adalah Rasulullah saw dan para
sahabatnya, bukan?
Selain itu, berkaitan dalam masalah tahlil, Muhammadiyah
menolaknya dengan dasar dari hadist Rasulullah saw, yang artinya
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda:
“Apabila manusia telah mati, maka putuslah segala amalnya kecuali
tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya, dan anak saleh
yang mendoakannya.” [HR. Muslim]
Berkaitan dengan hadis tersebut, yang juga digunakan oleh Ulama
atau kalangan yang membolehkan tahlilan, Muhammadiyah memandang bahwa hadist
itu berbicara tentang mendoakan, bukan mengirim pahala doa dan bacaan ayat-ayat
Al Qur'an. Mendoakan orang tua yang sudah meninggal yang beragama Islam memang
dituntunkan oleh Islam, tetapi mengirim pahala doa dan bacaan, menurut
kepercayaan Muhammadiyah, tidak ada tuntunannya sama sekali.
Argumentasi kedua: selain dasar sebagaimana sudah disebutkan, Muhammadiyah juga
mendasarkan argumentasinya pada al-Qur‘an surat
an-Najm ayat 39, ath-Thur 21, al-Baqarah 286, al-An‘am 164, yang mana dalam
ayat-ayat tersebut diterangkan bahwa manusia hanya akan mendapatkan apa yang
telah dikerjakannya sendiri. Berikut adalah petikan ayat-ayatnya:
Artinya:
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah
diusahakannya (Q.S. an-Najm: 39)
Artinya:
Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti
mereka
dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan
mereka[1426], dan
kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap
manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. [QS. ath-Thur (52): 21]
Artinya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana
Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah
Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (Q.S. al-Baqarah: 286)
Artinya:
Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah,
padahal dia adalah
Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa
melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu
kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan." [QS. al-An‘am (6): 164]
Dalam menjelaskan ayat-ayat tersebut, kalangan yang menolak
tahlilan mengutip pendapat madzhab Syafii yang dikutip Imam Nawawi dalam Syarah
Muslimnya, di sana
dikatakan bahwa bacaan qur'an (yang pahalanya dikirimkan
kepada mayit) tidak dapat sampai, sebagaimana disebutkan dalam
dalam al-Qur‘an surat
an-Najm ayat 39 di atas.
Selain itu, juga dikuatkan dengan pendapat Imam Al Haitami dalam
Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah yang mengatakan: "Mayit tidak boleh
dibacakan apapun,
berdasarkan
keterangan yang mutlak dari ulama mutaqaddimin, bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan
kepada mayit) tidak dapat sampai kepadanya." Sedang dalam Al Um Imam Syafi'i menjelaskan
bahwa Rasulullah saw memberitakan sebagaimana diberitakan Allah, bahwa dosa
seseorang akan menimpa dirinya sendiri, seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri,
bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain.
(Al Umm juz 7, hal 269).
Dasar selanjutnya adalah, perbuatan Nabi yang tidak menyukai
ma'tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada
tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru (Al Umm, juz I,
hal 248).
Juga perkataan Imam Nawawi yang mengatakan bahwa penyediaan
hidangan makanan oleh keluarga si mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ
tidak ada nashnya sama sekali (Al Majmu' Syarah Muhadzab, juz 5 hal 286).
Sebagaimana sudah menjadi keputusan Tarjih Muhammadiyah dalam
masalah ini, bahwa ketika ada yang meninggal yang seharusnya membuat makanan
adalah tetangga atau kerabat dekat untuk keluarga si mayit. Dasarnya adalah
hadis dari Abdullah bin Ja'far, ia berkata, yang artinya:
Setelah datang berita kematian Ja'far, Rasulullah bersabda: "Buatlah makanan
untuk keluarga Ja'far, karena telah datang kepada mereka sesuatu yang
menyusahkan mereka”.(H.R Tirmidzi dengan sanad hasan).
Demikianlah pendapat Muhammadiyah dalam masalah tahlil.
Penolakannya
terhadap tradisi tahlilan talah terang memiliki dasar. Lalu,
bagaimana pendapat
NU? Dalil-dalil apa yang digunakan oleh Ulama NU sehingga sampai
sekarang
masih mempertahankan tahlilan? Mari kita kaji bersama-sama.
2. Nahdhatul Ulama
Di atas, kita telah tahu pengertian tahlil secara bahasa maupun
istilah. Bahwa tahlil, secara bahasa berarti pengucapan kalimat la ilaha illallah. Sedang tahlil secara istilah,
sebagaimana ditulis KH M. Irfan Ms, salah seorang tokoh NU, ialah mengesakan
Allah dan tidak ada pengabdian yang tulus kecuali hanya kepada Allah, tidak
hanya mengkui Allah sebagai Tuhan tetapi juga untuk mengabdi, sebagimana dalam
pentafsiran kalimah thayyibah. Pada perkembangannya, tahlil diitilahkan sebagai
rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam rangka mendoakan keluarga
yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya tahlil bisa dilakukan sendiri-sendiri,
namun kebiasaannya tahlil dilakukan dengan cara berjamaah.
Dalam buku Antologi NU diterangkan, sebelum doa dilakukan,
dibacakan terlebih dahulu kalimah-kalimah syahadad, hamdalah, takbir, shalawat,
tasbih,
beberapa ayat suci al-Qur‘an dan tidak ketinggalan hailallah
(membaca laa ilaaha illahllaah) secara bersama-sama.
Biasanya acara tahlil dilaksanakan sejak malam pertama orang
meninggal sampai tujuh harinya. Lalu dilanjutkan lagi apda hari ke -40, hari
ke-100, dan hari ke-1000. Selanjtunya dilakukan setiap tahun dengan nama khol
atau haul, yang waktunya tepat pada hari kematiannya. Setelah pembacaan doa
biasanya tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman kepada para jamaah.
Kadang masih ditambah dengan berkat (buah tangan berbentuk makanan matang).
Pada perkembangannya di beberapa daerah ada yang mengganti berkat, bukan lagi dengan makanan
matang, tetapi dengan bahan-bahan makanan, seperti mie, beras, gula, the,
telur, dan lain-lain. Semua itu diberikan sebagai sedekah, yang pahalanya
dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dunia tersebut. Sekaligus sebagai
manifestasi rasa dinta yang mendalam baginya.
Dalam menjelaskan masalah tahlil, H.M.Cholil Nafis, tokoh pembesar
NU, menjelaskan pula sejarah tahlil, sebelum memberikan dasar-dasar
dibolehkannya tahlil. Menurutnya, berkumpulnya orang-orang untuk tahlilan pada
mulanya ditradisikan oleh Wali Songo (sembilan pejuang Islam di tanah Jawa).
Seperti yang telah kita ketahui, di antara yang paling berjasa menyebarkan
ajaran Islam di Indonesia adalah Wali Songo. Keberhasilan dakwah Wali Songo ini
tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya.
Wali Songo tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah
mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja
isinya diganti dengan nilai Islam.
Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili
dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi
begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta
membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun
acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti
pengertian di atas tidak dikenal sebelum Wali Songo.
Warga NU sampai sekarang tetap mempertahankan tahlil, salah satu
tradisi yang dimunculkan pertama kali oleh Walisanga. KH Sahal Mahfud, ulama NU
dari Jawa Tengah, berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi
hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami
dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada
Allah.
Kalau kita tinjau apa yang disampaikan KH Sahal Mahfud, terdapat
dua hikmah dilakukannya tahlil, yaitu, pertama, hamblumminannas, dalam rangka melaksanakan ibadah sosial; dan kedua, hablumminallah, dengan meningkatkan dzikir
kepada Allah. Mari kita lihat perspektif Ulama NU tentang dua hikmah tahlil
tersebut.
Pertama, bahwa dalam tahlil terdapat aspek ibadah sosial, khususnya tahlil
yang dilakukan secara berjamaah. Dalam tahlil, sesama muslil akan berkumpul
sehingga tercipta hubungan silaturrahmi di antara mereka. Selain itu,
dibagikannya
berkat, sedekah berupa makanan atau bahan makanan, juga merupakan bagian
dari ibadah sosial.
Dalam sebuah hadis dijelaskan, yang artinya:
Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW
kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW
menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan. (HR Ahmad)
Menurut NU, sebagaimana disampaiakan H.M.Cholil Nafis, memberi
jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya boleh (mubah),
dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah yang
terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk
sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahkan pada orang telah
meninggal.
Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan
tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghormati tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak
menampakkan rasa
susah dan gelisah kepada orang lain. Dalam
hadits shahih yang lain disebutkan, yang artinya:
Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya,
"Wahai Rasulullah SAW,
Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya
jika akan bersedekah untuknya?" Rasulullah menjawab, "Ya”. Laki-laki
itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu
bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR Tirimidzi)
Pembolehan sedekah untuk mayit juga dikuatkan dengan pendapat Ibnu
Qayyim al-Jawziyah yang dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik amal yang
dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istigfar, doa dan
haji. Adapun pahala membaca Al-Qur'an secara sukarela dan pahalanya diberikan
kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa
dan haji.
Namun demikian, karena memberikan jamuan untuk tamu berupa berkat adalah hukumnya boleh, maka
kemampuan ekonomi tetap harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tradisi NU dalam memberi jamuan makan untuk
tamu tidaklah sesuatu yang wajib.
Orang yang tidak mampu secara ekonomi, semestinya tidak memaksakan diri untuk
memberikan jamuan dalam acara tahlilan, apalagi sampai berhutang ke sana ke mari atau sampai
mengambil harta anak yatim dan ahli
waris yang lain, demikian dikatakan KH. Cholil Nafis.
Semua jamuan dan doa dalam tahlilan pahalanya dihadiahkan kepada
mayit.
Warga NU percaya bahwa bersedekah untuk mayit, pahalanya akan
sampai kepada mayit.
Dalam buku Risalah Amaliyah Nahdhiyin disebutkan dikutip sebuah
hadis di mana Rasulullah pahala sedekah untuk mayit akan sampai.
Dari Aisyah ra.bahwa seorang laki-laki berkata kepada rasulullah
SAW.
“Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan aku melihatnya
seolah-olah dia berkata, bersedekahlah. Apakah baginya pahala jika aku
bersedekah untuknya?”. Rasulullah SAW. Bersabda,”ya”. (HR. Muttafaqu alaih)
Perintah Rasulullah yang senada itu juga dapat ditemukan dalam
haditshadits
yang lain. Bahkan beliau menyebut amalan sedekah sebagai amalan
yang tidak akan pernah putus meskipun oranng yang bersedekah itu telah
meninggal dunia. Pahala sedekah tidak saja dapat mengalir ketika yang
bersangkutan masih hidup, tetapi juga ketika jasad sudah ditiggalkan oleh
rohnya.
Dari Abi Hurairah ra.bahwa rasulullah SAW.bersabda: 'Tatkala manusia
meninggal maka putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu
amal Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakannya.”
(HR. Muslim).
Dalil lain adalah hadits yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad
as-Syarbashi, guru besar pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya, Yas`aluunaka fid Diini
wal
Hayaah, sebagaimana dikutip KH. Chilil Nafis, yang artinya sebagai
berikut:
―Sungguh para ahli fiqh telah berargumentasi atas kiriman pahala
ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia, dengan hadist
bahwa
sesungguhnya ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah
saw, seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk
keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa
bagi mereka;
apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka?
Rasulullah saw bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada
mereka dan sesungguhnya mereka itu
benar-benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah
seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan
kepadanya!"
Jadi, menurut NU, doa dan sedekah yang pahalanya diberikan kepada
mayit akan diterima oleh Allah.
Argumentasi selanjutnya adalah, bahwa tahlil merupakan sarana
hablumminallah, sebab doa-doa atau bacaan-bacaan dalam tahlil merupakan
bacaan-bacaan dzikrullah yang mana apa yang dibaca tersebut sesuati dengan
sunnah Nabi Muhamamd saw.
Bahwa ummat Islam diperintahkan, tidak hanya berdoa untuk orang
yang masih hidup, tetapi juga untuk orang yang sudah meninggal. Allah swt
berfirman:
Artinya:
Orang-orang yang datang sesudah mereka(Muhajirin dan Anshar),
mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dulu daripada kami.” (QS. Al-Hasyr: 10)
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
Artinya:
Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan,
Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa)
orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu
berusaha dan tempat kamu tinggal. (QS. Muhammad: 19)
KH M. Irfan Ms pernah mengatakan bahwa tahlil dengan serangkaian
bacaannya yang lebih akrab disebut dengan tahlilan tidak hanya berfungsi hanya
untuk mendoakan sanak kerabat yang telah meninggal, akan tetapi lebih dari pada
itu tahlil dengan serentetan bacaannya mulai dari surat Al-ikhlas, Shalawat,
Istighfar, kalimat thayyibah dan seterusnya memiliki makna dan filosofi
kehidupan manusia baik yang bertalian dengan i‘tiqad Ahlus Sunnah wal jamaah,
maupun gambaran prilaku manusia jika ingin memperoleh keselamatan dan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak.
Dari susunan bacaannya tahlilan terdiri dari dua unsur, yaitu
syarat dan rukun. Bacaan-bacaan yang termasuk syarat tahlil adalah:
1. Surat
al-Ikhlas
2. Surat
al-Falaq
3. Surat
an-Nas
4. Surat
al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 5
5. Surat
al-Baqarah ayat 163
6. Surat
al-Baqarah ayat 255
7. Surat
al-Baqarah ayat dari ayat 284 sampai ayat 286
8. Surat
al-Ahzab ayat 33
9. Surat
al-Ahzab ayat 56
10. Dan sela-sela bacaan antara Shalawat, Istighfar, Tahlil da
Tasbih
Adapun bacaan yang dimaksud dengan rukun tahlil ialah bacaan:
1. Surat
al-Baqarah ayat 286
2. Surat
al-Hud ayat 73
3. Shalawat Nabi
4. Istighfar
5. Kalimat Thayyibah “ALLAH”
6. Tasbih
Ayat-ayat serta bacaan-bacaan dzikir di atas memiliki keutamaannya
masingmasing sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis Nabi saw. Seperti,
misalnya sebuah hadis yang mengatakan bahwa ―orang yang menyebut
“la ilaha illa Allah” akan dikeluarkan dari neraka." Dalam rangkaian tahlil
biasanya juga membaca surat
Yasin secara berjamaah. Perbuatan ini sesuai dengan apa yang diperintahkan Nabi
SAW dalam beberapa haditsnya yang secara terang-terangan memerintahkan supaya
umat islam membacakan ayat-ayat al-Qur‘an untuk orang yang telah meninggal
dunia.
Dari Mu‘aqqol ibn Yassar r.a: "barang siapa membaca surat
Yasin karena mengharap ridlo Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu,
maka bacakanlah surat
yasin bagi orang yang mati diantara kamu.” (H.R. Al-Baihaqi, dalam Jami‘us Shogir: bab Syu‘abul Iman)
Masih banyak hadis-hadis berkaitan dengan keutamaan surat-surat
al-Qur‘an
serta bacaan-bacaan dzikir dalam serangkaian bacaan tahlil yang
akan terlalu
panjang jika semuanya ditulis di sini.
Kemudian, tentang dzikir yang dilakukan secara berjamaah, termasuk
dalam acara tahlilan, juga masuk perkara ikhtilaf antara NU dan Muhammadiyah.
Permasalah ini akan kita bahas pada bab tersendiri. Yang perlu
dibahas lebih dalam disini, yang juga menjadi kontroversi Ulama, adalah membaca
surat al-Fatiah
untuk dihadiahkan kepada mayit.
Dalam pembacaan tahlil, setelah jamaah bersama-sama melantunkan shahadat,
sebelum dilanjutkan dengan bacaan-bacaan dan doa-doa yang lain,
biasanya pemimpin tahlil akan menghadiahi fatihah yang ditujuakan
kepada, Nabi Muhammad saw berserta keluarga, para sahabat, kepada orang-orang
sholih, dan kepada orang yang meninggal. NU berpendapat bahwa membaca surat al-Fatihah yang
dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal hukumnya adalah boleh.
KH A Nuril Huda, mengutip pendapat Ibnu 'Aqil, salah seorang tokoh
besar
madzhab Hanbali yang mengatakan: "Disunnahkan menghadiahkan bacaan
Al-
Qur'an kepada Nabi SAW.
Ibnu 'Abidin telah bertaka sebagaimana tersebut dalam Raddul Muhtar 'Alad-
Durral Mukhtar:
"Ketika para ulama kita mengatakan boleh bagi seseorang untuk
menghadiahkan pahala amalnya untuk orang lain, maka termasuk di dalamnya hadiah
kepada Rasulullah SAW. Karena beliau lebih berhak mendapatkan dari pada yang
lain. Beliaulah yang telah menyelamatkan kita dari kesesatan. Berarti hadiah
tersebut termasuk salah satu bentuk terima kasih kita kepadanya dan membalas
budi baiknya.
Bukankah seorang yang kamil (tinggi derajatnya) memungkinkan untuk
bertambah ketinggian derajat dan kesempurnaannya. Dalil sebagian orang yang
melarang bahwa perbuatan ini adalah tahshilul hashil (percuma)
karena semua amal umatnya otomatis masuk dalam tambahan amal
Rasulullah, jawabannya adalah bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta‟ala memberitakan dalam Al-Qur'an
bahwa Ia bershalawat terhadap Nabi SAW kemudian Allah memerintahkan kita untuk
bershalawat kepada Nabi dengan mengatakan:
“Ya Allah berikanlah rahmat kemuliaan buat Muhammd. Wallahu A‟lam.” (lihat
dalam Raddul Muhtar 'Alad-Durral Mukhtar, jilid II, hlm. 244)
Bolehnya menghadiakan al-Fatikhah juga diperkuat dengan pendapat
Ibnu Hajar al Haytami dalam Al-Fatawa al-Fiqhiyyah. Juga, Al-Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul Muhkam
al-Matin, yang
mengatakan:
"Menurut saya boleh saja seseorang menghadiahkan bacaan
Al-Qu'an atau yang lain kepada baginda Nabi SAW, meskipun beliau selalu
mendapatkan pahala semua kebaikan yang dilakukan oleh umatnya, karena memang
tidak ada yang melarang hal tersebut. Bahwa para sahabat tidak melakukannya,
hal ini tidak menunjukkan bahwa itu dilarang.
Jika hadiah bacaan Al-Qur'an termasuk al-Fatihah diperbolehkan
untuk Nabi, maka, menurut Ulama NU, menghadiahkan al-Fatihah untuk para wali
dan orangorang saleh yang jelas-jelas membutuhkan tambahnya ketinggian derajat
dan kemuliaan juga dihukumi boleh.
Selain hadiah al-Fatihal, hal yang juga menjadi tradisi NU, dan
tidak terdapat di Muhammadiyah adalah tradisi Haul. Masalah haul, barangkali
tepat untuk sekalian kita angkat di sini, sebab dalam acara haul yang
ditradisikan oleh NU
dipastikan ada pembacaan tahlil. Haul adalah peringatan kematian
yang dialukan setahun sekali, biasanya diadakan untuk memperingati kematian
para keluarga yang telah meninggal dunia atau para tokoh. Tradisi haul diadakan
berdasarkan hadits Rasulullah SAW. Diriwayatkan:
Rasulullah berziarah ke makam Syuhada (orang-orang yang mati
syahid) dalam perang Uhud dan makam keluarga Baqi‟. Beliau mengucap salam
dan mendoakan mereka atas amalamal yang telah mereka kerjakan. (HR. Muslim)
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Wakidi disebutkan
bahwa:
Rasulullah SAW mengunjungi makam para pahlawan perang Uhud setiap
tahun.
Jika telah sampai di Syi‟ib (tempat makam mereka), Rasulullah agak keras berucap: Assalâmu‟alaikum bimâ shabartum
fani‟ma uqbâ ad-dâr. (Semoga
kalian selalu mendapat kesejahteraan ats kesabaran yang telah kalian lakukan.
Sungguh akhirat adalah tempat yang paling nikmat). Abu Bakar, Umar dan Utsman
juga malakukan hal yang serupa. (Dalam Najh al-Balâghah).
Para ulama menyatakan, peringatan
haul tidak dilarang oleh agama, bahkan dianjurkan. Ibnu Hajar dalam Fatâwa
al-Kubrâ Juz II, sebagaimana dikutip A. Khoirul Anam dalam artikelnya,
menjelaskan, para Sahabat dan Ulama tidak ada
yang melarang peringatan haul sepanjang tidak ada yang meratapi
mayyit atau ahli kubur sambil menangis. Peringatan haul yang diadakan secara
bersama-sama menjadi penting bagi umat Islam untuk bersilaturrahim satu
sama-lain; berdoa sembari memantapkan diri untuk menyontoh segala teladan dari
para pendahulu;
juga menjadi forum penting untuk menyampaikan nasihat-nasihat
keagamaan.
Demikianlah pendapat NU mengenai tahlil, yang intinya tahlil tidak
bertentangan dengan syariat. Karena dengan seseorang mengikuti tahlilan, baik
sendiri-sendiri, berjamaah, dalam acara haul atau tidak, maka mereka menjadi
berdzikir dengan mengalunkan kalimah syahadah, juga membaca ayat suci al-
Qur‘an serta bacaan dzikir yang lain, yang semua itu tidak lain sebagai cara
istighatsah kepada Allah agar doanya diterima untuk mayit.
I. Hukum (Me)Rokok
Pada abad ke XI Hijriah atau 15 masehi rokok baru mulai dikenal
dalam dunia Islam, tepatnya pada masa dinasti Ustmaniyah yang berpusat di
Turki.
Setelah diketahui adanya sebagian orang Islam yang mulai
terpengaruh dan mengikuti kebiasaan merokok, maka dipandang perlu oleh para
Ulama pada masa itu pun seketika berijtihad, berusaha menetapkan hukum tentang
merokok, yang kemudian keluarlah fatwa bahwa hukum merokok adalah makruh.
Hingga lima
abad setelah itu, merokok masih menjadi bahan perdebatan di kalangan Ulama.
Kontroversi seputar penetapan hukum merokok tak bisa dihindarkan, termasuk
dikalangan Ulama NU dan Muhamamdiyah.
Pada tahun 2005 Muhammadiyah lewat Majelis Tarjih dan Tajdid-nya
telah menerbitkan fatwa hukum merokok, yang intinya adalah merokok hukumnya
mubah. Namun, fatwa tersebut kemudian direvisi atau dianggap tidak berlaku lagi
semenjak dikeluarkannya fatwa hasil dari Kesepakatan dalam Halaqah Tarjih
tentang Fikih Pengendalian Tembakau yang diselenggarakan Maret 2010 M yang
isinya mengatakan bahwa merokok adalah haram.
Sementara NU melalui Bahstul Masail-nya menyatakan bahwa hukum
merokok itu relatif, bisa mubah, makruh, dan bisa haram, tergantung tergantung
dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada 'illah yang mendasarinya. Lebih
jelasnya mengenai fatwa hukum merokok dari NU dan Muhammadiyah, marilah kita
jabarkan satu persatu.
1. Muhammadiyah
Hukum Islam (fiqh), sebagaimanya kita ketahui bersama, dapat
berubah tergantung dengan situasi dan kondisi di mana hukum itu diterapkan.
Demikian halnya dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah tentang hukum
merokok. Bahwa pada tahun 2005 Majelis Tarjih dan Tajdid memfatwakan mubah
dikarenakan belum cukupnya data-data dan informasi yang diterima oleh para
perumus fatwa. Dan setelah dilakukan kembali beberapa kajian dengan mengundang
para ahli kesehatan, demografi dan sosiolog maka Majlis Tarjih dan Tajdid merubah
fatwa bahwa merokok mubah menjadi haram. Dengan dikeluarkan fatwa baru ini,
maka fatwa sebelumnya tentang merokok adalah mubah dinyatakan tidak berlaku.
Dalam amar fatwa haram rokok yang dikeluarkan Muhammadiyah
disebutkan bahwa: Wajib hukumnya mengupayakan pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan
masyarakat setinggi-tingginya dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya suatu
kondisi hidup sehat yang merupakan hak setiap orang dan merupakan bagian dari
tujuan syariah (maqâshid asy-syarî‟ah).
Adapun dalil atau dasar diharamkannya rokok, adalah:
Pertama, bahwa merokok termasuk kategori perbuatan melakukan khabâ‟its
yang dilarang dalam Islam, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur‘an:
Artinya:
(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi
mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban
dan belenggubelenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (al-A‘raf: 157)
Kedua, Agama Islam (syariah) melarang menjatuhkan diri ke dalam
kebinasaan dan perbuatan bunuh
diri. Pendekatan yang digunakan oleh Majlis tarjih
dan tajdid Muhammadiyah dalam menetapkan hukum
merokok adalah dengan melihat akibat yang nampak ditimbulkan oleh kebiasaan tersebut.
Dalam tanya jawab, berkaitan dengan fatwa haram merokok dari
Muhammadiyah, sebagaimana dimuat dalam Muhammadiyah Online, bahwa rokok ditengarai sebagai produk berbahaya dan adiktif
serta mengandung 4000 zat kimia, di antara zat kimia tersebut berdasarkan
penelitian terbaru, menyebutkan bahwa terdapat 200-an racun yang berbahaya yang
dalam sebatang rokok. Sementara itu Badan Kesehatan Dunia WHO menyebutkan bahwa
di Amerika, sekitar 346 ribu orang meninggal tiap tahun dikarenakan rokok. Dan
tidak kurang dari 90% dari 660 orang yang terkena penyakit kanker di salah satu
rumah sakit Sanghai Cina adalah disebabkan rokok.
Juga terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa 20 batang rokok
per-hari akan menyebabkan berkurangnya 15% hemoglobin, yakni zat asasi
pembentuk
darah merah. Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin dan karbon
monoksida.
Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan
menempel pada paruparu. Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan
peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen dan mampu memicu kanker paru-paru
yang mematikan. Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam
darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen.
Efek racun pada rokok ini membuat pengisap asap rokok mengalami
resiko14 kali lebih bersar terkena kanker paru-paru, mulut, dan tenggorokan
dari pada mereka yang tidak menghisapnya.
Penghisap rokok, berdasarkan penelitian, juga punya kemungkinan 4
kali lebih besar untuk terkena kanker esophagus dari mereka yang tidak
menghisapnya.
Penghisap rokok juga beresiko 2 kali lebih besar terkena serangan
jantung dari pada mereka yang tidak menghisapnya.
Rokok juga meningkatkan resiko kefatalan bagi penderita pneumonia dan gagal jantung serta tekanan
darah tinggi. Menggunakan rokok dengan kadar nikotin
rendah tidak akan membantu, karena untuk mengikuti kebutuhan akan
zat adiktif itu, perokok cenderung menyedot asap rokok secara lebih keras,
lebih dalam, dan lebih lama.
Apa yang penulis deretkan di atas dijadikan dasar utama
Muhammadiyah dalam menetapkan fatwa haramnya merokok, yang intinya adalah karena
―merokok memiliki madharat yang sangat besar. Karena madharatnya dianggap sangat besar,
maka merokok merupakan perbuatan yang mengandung unsur menjatuhkan
diri ke dalam kebinasaan dan bahkan merupakan perbuatan bunuh diri secara
perlahan sehingga itu bertentangan dengan larangan Alquran:
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang Telah kami
turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami
menerangkannya kepada manusia dalam Al kitab, mereka itu dila'nati Allah dan
dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati. (Q.S. Albaqarah: 159)
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka samasuka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu;
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
(Q.S. Annisa: 29)
Merokok juga bertentangan dengan prinsip syariah dalam hadis Nabi
saw:
“tidak ada perbuatan membahayakan diri sendiri dan membahayakan
orang lain.”
Ketiga, merokok tergolong perbuatan mubazir, dan ini jelas dilarang
dalam Islam. selain merugikan kesehatan, merokok juga meningkatkan angka
kemiskinan, demikian menurut Muhammadiyah. Dari data yang diperoleh keluarga
termiskin justru mempunyai prevalensi merokok lebih tinggi daripada kelompok
pendapatan terkaya. Angka-angka SUSENAS 2006 mencatat bahwa pengeluaran
keluarga termiskin untuk membeli rokok mencapai 11,9%, sementara keluarga
terkaya pengeluaran rokoknya hanya 6,8%. Fakta ini memperlihatkan bahwa rokok
pada keluarga miskin perokok menggeser kebutuhan makanan bergizi esensial bagi
pertumbuhan balita.
Dengan demikian berarti merokok melakukan perbuatan mubazir
(pemborosan) yang dilarang dalam al-Qur‘an:
Artinya:
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,
kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghamburhamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada
Tuhannya. (QS.
Al-Israa‘: 26-27)
Keempat, merokok tidak hanya berdampak buruk bagi diri si perokok, tetapi
juga bagi anggota keluarga, dan orang-orang disekitar si perokok. Dan Islam
telah melarang menimbulkan mudarat atau bahaya pada diri sendiri dan pada
orang, sebagaimana disebutkan dalam hadis yang artinya:
Tidak ada bahaya terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain (HR. Ibn Majjah,
Ahmad, dan Malik).
Kelima, Perbuatan merokok oleh Muhammadiyah juga dikategorikan sebagai
perbuatan yang melemahkan sehingga bertentangan dengan hadis Nabi
saw yang melarang setiap perkara yang memabukkan dan melemahkan, sebagaimana
hadis riwayat Ibn Majah, Ahmad, dan Malik yang artinya:
Dari Ummi Salamah bahwa Rasulullah saw melarang setiap yang memabukkan
dan setiap yang melemahkan. (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Merokok bertentangan dengan unsur-unsur tujuan syariah (maqâshid asysyarî‟
ah)
yaitu (1) perlindungan agama (hifzh ad-dîn), (2) perlindungan jiwa/raga
(hifzh an-nafs), (2) perlindungan akal (hifzh al-aql), (4) perlindungan keluarga (hifzh an-nasl), dan (5) perlindungan harta (hifzh al-mâl).
Bahwa Agama Islam (syariah) mempunyai tujuan (maqa‘id
asy-syari‘ah)
untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia. Perlindungan terhadap
agama dilakukan dengan peningkatan ketakwaan melalui pembinaan hubungan
vertikal kepada Allah SWT dan hubungan horizontal kepada sesama dan kepada alam
lingkungan dengan mematuhi berbagai norma dan petunjuk syariah tentang
bagaimana berbuat baik terhadap Allah, manusia dan alam lingkungan.
Perlindungan terhadap jiwa/raga diwujudkan melalui upaya
mempertahankan suatu standar hidup yang sehat secara jasmani dan rohani serta
menghindarkan
semua faktor yang dapat membahayakan dan merusak manusia secara
fisik dan
psikis, termasuk menghindari perbuatan yang berakibat bunuh diri
walaupun secara perlahan dan perbuatan menjatuhkan diri kepada kebinasaan yang
dilarang di dalam al- Quran. Perlindungan terhadap akal dilakukan dengan upaya
antara lain membangun manusia yang cerdas termasuk mengupayakan pendidikan yang
terbaik dan menghindari segala hal yang bertentangan dengan upaya pencerdasan
manusia. Perlindungan terhadap keluarga diwujudkan antara lain melalui upaya
penciptaan suasana hidup keluarga yang sakinah dan penciptaan kehidupan yang sehat
termasuk dan terutama bagi anak-anak yang merupakan tunas bangsa dan umat.
Perlindungan terhadap harta diwujudkan antara lain melalui pemeliharaan dan
pengembangan harta kekayaan materiil yang penting dalam rangka menunjang
kehidupan ekonomi yang sejahtera dan oleh karena itu dilarang berbuat mubazir
dan menghamburkan harta untuk hal-hal yang tidak berguna dan bahkan merusak
diri manusia sendiri. Namun demikian, perlu juga disebutkan bahwa fatwa haram
merokok dari Muhammadiyah tersebut ditetapkan dengan mengingat prinsip at-tadriij
(berangsur), at-taisiir (kemudahan), dan „adam al-kharaj (tidak mempersulit). Artinya,
mereka yang telah terlanjur menjadi perokok wajib melakukan upaya
dan berusaha sesuai dengan kemampuannya untuk berhenti dari kebiasaan merokok
dengan mengingat al-Qur‘an:
Artinya:
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami, dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik,” (QS. Al-Ankabut: 69),
Juga berdasarkan firman Allah:
Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya; ia akan mendapat hasil yang ia usahakan dan memikul akibat
perbuatan yang ia lakukan. (QS. Al-Baqarah: 286)
Selain itu, upaya yang dilakukan oleh para perokok untuk berusaha
menghentikan kebiasaan merokok fatwa tersebut juga merkomendasikan kepada
pusat-pusat kesehatan di lingkungan Muhammadiyah untuk
mengupayakan adanya fasilitas dalam memberikan terapi guna membantu orang yang
berupaya
berhenti merokok.
Sementara bagi mereka yang belum atau tidak merokok wajib
menghindarkan diri dan keluarganya dari percobaan merokok, sesuai dengan firman
Allah:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api... (Q.S.
At-Tamrin: 6)
2. Nahdhatul Ulama
Hukum merokok menurut sebagian besar ulama NU makruh. NU menyadari
bahwa kebiasaan merokok baru dikenal di dunia Islam semenjak awal abad XI
hijriyah dan sejak itu hukum rokok atau merokok telah dibahas oleh
para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi. Di sebabkan
tidak ada dalil dari al-Qur‘an maupun hadis yang secara khusus menjelaskan
masalah hukum merokok, maka perbedaan mengenai hukum merokok pun tidak dapat
dihindarkan. Hukum merokok berkutat pada perbedaan haram, mubah dan makruh.
Membaca artikel yang ditulis KH Arwani Faishal di situs resmi NU berjudul Bahstul Masail tentang
Hukum Merokok tidak
didapatkan keterangan yang secara tegas mengatakan bahwa merokok hukumnya ini
atau itu; mubah, haram, atau makruh. KH Arwani, wakil ketua lembaga Bahstuhl
Masail ini mencoba memandang dari bebagai perspektif tentang fatwa-fatwa
seputar hukum rokok, tidak secara tegas memilih pendapat mana yang paling kuat.
Ia menyatakan bahwa pengharaman rokok pasti akan mendapat penolakan dari
orang-orang yang tidak sepaham. Ia menulis: “Seandainya muncul fatwa, bahwa
korupsi itu hukumnya haram berat karena termasuk tindak sariqah
(pencurian), maka semua orang akan sependapat termasuk koruptor itu sendiri.
Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok itu dihukumi haram. Akan
muncul pro dari pihak tertentu dan muncul pula kontra serta penolakan dari
pihak-pihak yang tidak sepaham. Dalam tinjauan fiqh terdapat beberapa
kemungkinan pendapat dengan berbagai argumen yang bertolak belakang.”
Memang terdapat nash al-Qur‘an dan sunnah yang melarang manusia
untuk berbuat kerusakan, kemudharatan dan kemafsadatan. Namun begitu dalil
tersebut memiliki sifat yang umum sehingga sangat niscaya Ulama menafsirkannya
berbedabeda. Dalam surat
al-Baqarah Allah berfirman:
Artinya:
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)
Dalam hadis juga disebutkan:
Dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat
kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat
kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah)
Para ulama fiqih, termasuk juga
Ulama NU, memang telah sepakat bahwa segala sesuatu yang membawa kepada
kemadharatan adalah haram. Namun demikian, jika muncul pertanyaan apakah
merokok membawa kemadharatan? Apakah merokok tidak memiliki manfaat? Akan
selalu berbeda satu jawaban dengan yang lainnya. Lain lagi jika seandainya
semua sepakat, bahwa merokok
tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil,
maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian pula
seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka akan
sepakat pula dengan hukum haram. KH Arwani Faishal selanjutnya membagi pendapat
seputar rokok menjadi tiga macam, yakni:
Pertama; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang
tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa
hakikat rokok
bukanlah benda yang memabukkan.
Kedua ; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif
kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.
Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang
membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis,
bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker,
paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.
Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti
mubah, makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam
hukum tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap person akan
terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, baik terkait
kondisi personnya atau kwantitas yang dikonsumsinya.
Tiga macam hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun
personal terangkum dalam paparan panjang 'Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain
ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin.
“Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan
dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. Jelasnya, jika
terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau
badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang
sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang.
Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah
sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan
berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu
dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan
benda najis selain khamr.
Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya
makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan
unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.”
Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan
oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) sebagaimana dikutip KH Arwani Faishal, yang artinya
sebagai berikut:
Tentang tembakau… sebagian ulama menghukumi halal karena memandang
bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah
benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap
orang yang mengkonsumsi…....Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi
bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak
negatifnya.
Sedangkan sebagian ulama' lainnya menghukumi haram atau makruh
karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan
menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.
Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah
Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167), sebagaimana
dikutip KH Arwani Faishal, yang artinya sebagai berikut:
“Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-'Ubab dari madzhab
Asy-Syafi'i
ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum,
setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk
ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang
makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan
oleh sebagian ulama' dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum
ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah
al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu
hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan
keduanya.”
Sebagaimana sudah kita ketahui, banyak di antara Ulama atau Kiai
NU yang merupakan perokok. Dan sebagian besar dari Ulama NU mengatakan bahwa
merokok hukumnya adalah makruh. Perbedaan pendapat NU dan Muhammadiyah dalam
masalah hukum merokok ini dikarenakan penetapan „illah atau alasan hukum yang berbeda.
Jika Muhammadiyah berpendapat bahwa kebiasaan merokok sangat
membahayakan kesehatan bagi perokok dan orang disekitarnya, karena racun yang
dikandung dalam sebatang rokok sangat banyak dan berbahaya. Maka, yang
dipersoalkan oleh Ulama NU adalah, bahwa informasi (bukan bukti) mengenai hasil
penelitian medis tentang rokok adalah sangat detail sehingga sekecil apa pun
kemadharatan dalam hisapan tembakau menjadi terkesan lebih besar.
KH Arwani Faishal mengatakan, apabila karakter penelitian medis
semacam itu kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh
lebih
besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang
sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya dalam bayangan)
dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal, kemudaratan yang relatif
kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan hukum makruh. Demikian
halnya dalam menetapkan hukum merokok. NU menganggap rokok memiliki
kemudharatan yang kecil yang belum cukup untuk dijadikan dasar hukum
pengharaman.
Jika merokok haram, lalu bagaimana dengan makanan-makanan yang
mengandung bahan kimia berbahaya, apakah juga haram? Kita tahu, banyak makanan
dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang
tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan
minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus
dicermati
seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh
ataukah
haram hukumnya.
"Sepertinya tidak dan belum akan ada perubahan, hukumnya
(rokok) tetap makruh," ujar Ketua PB NU Masdar Farid Mas'udi, menjelang
Muktamar NU ke-32 di Makasar 22-27 Maret 2010. Sementara itu, sebagaimana
dilansir NU Online, KH Saefuddin Amsir, ketua pimpinan sidang Komisi Diniyyah
Waqiyyah menyatakan tidak perlunya peninjauan kembali terhadap hukum merokok
karena tidak ada illat(alasan) baru yang menyebabkan perrubahan hukum.
Mengutip kaidah fiqh, ia menyatakan bahwa hukum itu berubah sesuai
dengan perubahan alasan. Demikian juga berlaku pada hukum merokok.
Sementara itu menurut sekretaris komisi Bahtsul Masail Diniyah
Waqiiyah H M. Cholil Nafis merokok tetap dihukumkan makruh, karena hal ini
tidak berakibat
atau membahayakan secara langsung, juga tidak memabukkan apalagi
mematikan. Tidak ditinjau ulangnya hukum makruh merokok yang ditetapkan NU
bukan berarti NU menganggap remeh persoalan tentang bahaya rokok. Tapi, lebih
karena selain masyayikh NU sudah memfatwakan seperti itu, juga ada faktor
sosial lain yang melatarbelakangi, demikian Masdar Mas‘udi menjelaskan. Dan NU
tentu saja sepakat dengan menggalakkan kampanye tentang bahaya merokok di Indonesia.